Minggu, 29 April 2012

SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DENGAN KADAR GULA DARAH ACAK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI PUSKESMAS KARANGBINANGUN LAMONGAN


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, maka semakin banyak pula penyakit infeksi dan menular yang mampu diteliti dan diatasi. Namun tidak demikian dengan penyakit-penyakit degeneratif, penyakit degeneratif sudah ada di negara-negara besar seperti Amerika serikat, negara Eropa, Rusia atau Jepang dan sekarang telah merambah ke negara yang sedang berkembang di dunia termasuk  India, Afrika dan Indonesia. Adapun penyakit degeneratif contohnya Diabetes Mellitus (DM), Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak ditularkan dan sering ditemukan di masyarakat seluruh dunia (Hikmat Permana, 2009).
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan
dalam Haris Fadilah 2005, penyakit DM sangat mengancam produktifitas seseorang sehingga penyakit ini perlu diantisipasi sejak dini sehingga tidak menjadi penyakit yang kronis. Namun beberapa penelitian terakhir disebutkan bahwa setiap tahunnya penderita diabetes mellitus bukannya semakin berkurang justru semakin meningkat saja, jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 200 juta jiwa. Kemungkinan ini disebabkan oleh semakin banyaknya penderita obesitas dunia, ditambah lagi dengan tingkat stress yang cenderung semakin tinggi karena peralihan ke pekerjaan kantoran. Diprediksi angka tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020 (Dahlia Irawati, 2008).
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilakukan di Indonesia kekerapan diabetes mellitus adalah berkisar antara 1,4 – 1,6% (Aru W Sudoyo, 2006). Sedangkan penderita diabetes melitus (DM) di wilayah Surabaya terus meningkat, bisa dikatakan pengidap DM saat ini mencapai 180.000 orang yaitu 6% dari masyarakat daerah itu.  Berdasar data yang dihimpun di RSU dr Soetomo, RSUD dr Soewandhie, RSU Haji, dan RS Al-Irsyad, angka penderita DM dalam dua tahun terakhir meningkat. Di instalasi rawat jalan RSU dr Sotemo, misalnya, jumlah kunjungan pasien DM sampai Oktober 2008 menempati posisi ketiga di antara 40 poli yang ada jumlahnya adalah 25.435 orang. Jumlah penderita DM hanya kalah dari pasien di poli jantung 31.272 pasien dan onkologi 30.055 pasien (Nur dan Ayi, 2008).
Menurut Syaifudin dalam Febrianto 2008, sekitar 200.000 atau 12 persen dari penduduk Lamongan diduga terkena penyakit DM (penyakit gula). Dan saat ini penyakit itu masuk golongan penyebab kematian terbesar. Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan peneliti pada instansi puskesmas Karangbinangun kabupaten Lamongan pada bulan Juni 2009, didapatkan bahwa diabetes mellitus pada tahun 2007 adalah 134 orang sedangkan pada tahun 2008 adalah sebesar 214 orang, jadi terdapat peningkatan sebesar 27,2% atau 80 kasus baru diabetes mellitus. Jumlah kunjungan setiap bulannya adalah sekitar 30 orang, pada kasus baru sekitar 7 orang dan kasus lama 18 orang. Maka masalah penelitian ini adalah peningkatan kejadian Diabetes Mellitus.
Menurut Wardati (2006) menyatakan banyak faktor yang diduga menjadi timbulnya Diabetes Mellitus, diantarannya adalah faktor keturunan, lanjut usia, kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status rural urban dan kelainan ginekologis. Faktor yang pertama adalah faktor keturunan, menurut penelitian diabetes mellitus merupakan penyakit keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40 % resiko terkena penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009)
Faktor ke dua adalah lanjut usia , Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).
Faktor ke tiga yaitu nutrisi, Menurut Ayu Bulan FKD (2009) bahwa “Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya kian meningkat. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori dan karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut”.
Faktor yang ke empat adalah faktor ekonomi. Semakin tinggi status ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya,  hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai, lama kelamaan akan timbul obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).
Status rural urban adalah faktor selanjutnya. Cara hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja, menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat peningkatan (Herman, 2009).
Dari semua faktor resiko diabetes mellitus ada dua faktor yang dominan yaitu obesitas dan stress. Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and Suddarth, 2002).
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin  untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007). Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah pada saat stress atau tegang. Mengingat penyakit ini hanya dapat dikendalikan saja  tanpa bisa diobati dan komplikasi yang ditimbulkan juga sangat besar seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf (Dhania, 2009).
Dari faktor tersebut yang dapat dilakukan pembenahan adalah faktor yang dapat diubah. Faktor-faktor yang dapat diubah adalah meliputi obesitas, diet nutrisi, aktivitas, asupan lemak, merokok dan minum alkohol, ketegangan(stress) dan tingkat sosial ekonomi. Upaya pembenahan meliputi perubahan terhadap faktor yang disebutkan di atas yaitu mengontrol berat badan agar tidak terjadi obesitas, diet nutrisi yang sehat dan tidak berlebihan, melakukan aktivitas yang bermanfaat terutama olah raga, membatasi makanan yang mengandung banyak lemak, tidak merokok dan minum alkohol, meminimalkan stress atau ketegangan yang ada dipikiran dan tidak meniru gaya hidup kebarat-baratan. Kebanyakan pasien diabetes mellitus memiliki tubuh yang kurang proporsional dalam arti gemuk atau obesitas, hal ini senada dengan pernyataan “DM tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas” (Brunner and Suddarth, 2002) selain itu penyakit DM lebih banyak ditemukan pada orang yang memiliki pekerjaan diam dan berfikir, selain tingkat aktivitas yang rendah tingkat stress yang tinggi juga berpengaruh.
Untuk itu penulis tertarik dan ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan “Hubungan Obesitas dan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun”.



1.2         Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.        Bagaimana tingkat obesitas pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan.
2.        Bagaimana tingkat stress pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan.
3.        Bagaimana kadar Gula Darah Acak pasien diabetes mellitus tipe II di puskesmas Karangbinangun Lamongan.
4.        Adakah hubungan Obesitas dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.
5.        Adakah hubungan Stress dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

1.3         Tujuan

1.3.1        Tujuan umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan obesitas dan stress dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan
1.3.2        Tujuan khusus :
1.      Mengidentifikasi tingkat obesitas pada penderita Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.
2.      Mengidentifikasi tingkat stress pada orang yang mengalami Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.
3.      Mengidentifikasi kadar glukosa darah acak pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.
4.      Menganalisis hubungan obesitas dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.
5.      Menganalisis hubungan stress dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.

1.4         Manfaat

1.4.1        Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan  sebagai pendukung teori yang sudah ada.
2.        Akademik
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan  sebagai pendukung teori yang sudah ada.

1.4.2        Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna, khususnya bagi :
1.      Pihak Puskesmas
Jika tingkat pengetahuan tentang diabetes mellitus pada penderita diabetes mellitus rendah, pihak Puskesmas atau dokter dapat memberikan atau melakukan sosialisasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat mengenai segala sesuatu tentang diabetes mellitus. Dan dapat menurunkan faktor resiko diabetes mellitus sehingga diharapkan angka kejadian diabetes mellitus tidak meningkat tajam.
2.      Masyarakat
Dengan pengetahuan tentang faktor resiko diharapkan penderita diabetes mellitus lebih dapat mengontrol perilakunya, dan dapat terhindar dari terjadinya komplikasi-komplikasi lebih lanjut. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat mengantisipasi gejala penyakit diabetes mellitus ini lebih dini.


BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1    Konsep Diabetes Mellitus Tipe II

2.1.1        Pengertian

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price and Wilson, 2005).
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Robbin, 2007).
Diabetes merupakan penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup, atau jika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diperbuatnya (WHO1, 2009).
Diabetes mellitus tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin (Brunner and Suddarth, 2002). Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis diabetes mellitus yang paling sering dijumpai, diperkirakan sekitar 90% dari semua penderita diabetes mellitus dan penderita diabetes yang ada di indonesia (Jhon MF Adam, 2000). Penderita penyakit diabetes mellitus tipe II lebih banyak menyerang seseorang di atas usia 30 tahun (Brunner and Suddarth, 2002).



2.1.2        Etiologi

1.      Diabetes Mellitus tipe II
Menurut Wardati (2006) faktor resiko terjadinya diabetes mellitus meliputi faktor keturunan, lanjut usia , kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status rural urban dan kelainan genekologis.
1)      Keturunan / riwayat keluarga
Menurut penelitian yang telah dilakukan, penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40% resiko terkena penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009).
2)     Usia lajut
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008)
3)     Obesitas
Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and Suddarth, 2002).
4)     Stress
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin  untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).
Sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight) sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi. Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas saluran pencernaan dan sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).
5)     Diet nutrisi
Menurut Ayu Bulan FKD (2009) dijelaskan bahwa Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya semakin meningkat. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori dan karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut.
6)     Ekonomi
Hal ini berkaitan dengan gaya hidup, semakin tinggi status ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya akan dimilikinya, hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh hati menjadi glikogen atau disimpan di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).
7)     Status urban
Cara hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja, menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Apalagi hapir setiap hari harus lunch dan dinner dengan para mitranya, makanan yang dimakan adalah makanan barat yang aduhai. Pola hidup beresiko inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit PJK, diabetes mellitus dan lainnya. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat peningkatan (Herman, 2009).
8)     Kelainan genekologis
Beberapa kelainan genekologis juga dapat memperparah atau bahkan menyebabkan penyakit diabetes mellitus ini (Brunner and Suddarth, 2002).


2.1.3        Patogenesis

Menurut Robbin, 2007 perjalanan normal tubuh dan penyakit diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1.      Fisiologi  Insulin Normal
Gen insulin yang diekskresikan pada sel beta pankreas, disimpan dalam granula sebelum diekskresikan. Pengeluaran  dari sel beta berlangsung dalam suatu proses yang melibatkan dua simpanan insulin. Peningkatan kadar glukosa darah mendorong pelepasan insulin, yang diperkirakan dari simpanan pada granula sel beta.
Insulin adalah hormon anabolik utama, insulin diperlukan untuk (1) Pengangkutan glukosa dan asam amino melewati membran, (2) Pembentukan glikogen dalam hati dan otot rangka, (3) Perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4) Sintesis asam nukleat, dan (5) Sintesis protein. Fungsi metabolik utamanya adalah meningkatkan laju pemasukan glukosa ke dalam sel tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot berserat lintang, termasuk sel miokardium, fibroblast dan sel lemak, yang secara kolektif mewakili sekitar dua per tiga dari seluruh berat badan tubuh.
Insulin berinteraksi dengan sel sasarannya mula-mula berikatan dengan reseptor insulin, jumlah dan fungsi dari reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja insulin. Reseptor insulin adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah respon intrasel yang mengarah jalur metabolisme. Salah satu respon dini yang penting adalah terhadap insulin adalah translokasi glucose transport unit (GLUTs, yang memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dan aparatus golgi ke membran plasma, yang mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil akhir utama kerja insulin adalah membersihkan glukosa dari sirkulasi.
Gambaran terpenting dari penyakit diabetes mellitus adalah gangguan toleransi glukosa. Hal ini dapat terungkap dengan uji coba toleransi glukosa oral yang memeriksakan kadar glukosa darah setelah puasa semalam, dan kemudian beberapa menit sampai jam setelah pemberian glukosa per oral. Pada orang normal, kadar glukosa darah hanya sedikit meningkat, dan respon insulin oleh pankreas berlangsung cepat yang memastikan pulihnya kadar ke tingkat normoglikemik dalam satu jam. Pada pengidap diabetes dan pada mereka yang berada dalam stadium praklinik, glukosa darah meningkat ke kadar yang terlalu tinggi secara berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi akibat kekurangan mutlak insulin yang dikeluarkan dari pankreas atau akibat gangguan respon jaringan sasaran terhadap insulin, atau keduanya.
Saat ini kreteria berikut digunakan untuk diagnose laboratorium diabetes mellitus.
1)      Konsentrasi glukosa plasma vena puasa (semalam) 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu kali pemeriksaan
2)      Gejala klinis diabetes dan kadar glukosa sewaktu 200 mg / dL atau lebih
3)      Setelah ingesti 75 gr glukosa, konsentrasi glukosa vena 2 jam 200 mg / dL atau lebih.
2.      Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe II
Patogenesis dari diabetes mellitus tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya hidup tentu berperan dalam hal ini terutama obesitas dan stress. Dua defek metabolik yang menandai diabetes mellitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespon terhadap insulin (Resistensi insulin).
1)     Gangguan sekresi insulin pada sel beta
Pada kenyataannya, pada awal perjalanan penyakit kadar insulin bahkan mungkin meningkat untuk mengkompensasi insulin. Begitu juga dengan sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Fase pertama sekresi insulin (yang cepat) akan mengakibatkan glukosa menurun.
Namun pada perjalanan berikutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan hingga sedang. Penyebabnya defesiensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 ini masih belum jelas, data mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi sinsulin menyebabkan peningkatan masa dan produksi insulinnya. Lambat laun akan terjadi kehilangan sel beta 20% hingga 50% karena keadaan diatas, tetapi jumlah ini masih belum menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh gukosa. Hal ini tampaknya akan menyebabkan gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
2)     Resistensi insulin dan obesitas
Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin merupakan faktor utama dalam timbulnya diabets mellitus tipe 2. Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena komplek yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun (meskipun tidak terdapat diabetes), dan kadar insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut. Dasar seluler dan molekular belum sepenuhnya dimengerti.
Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin : jaringan lemak dan otot; dikedua jaringan tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi glukosa. Insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan pada reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respon intrasel yang mempengaruhi jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau salah satu pasca reseptor yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya.

2.1.4        Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus

Manifestasi klinis dari penyakit diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defesiensi insulin. Pasien-pasien dengan dengan defesiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Tanda dan gejala fisik yang muncul sebagai manifestasi dari hiperglikemi atau defesiensi insulin banyak sekali, tetapi beberapa gejala yang terkenal yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi  :
1.      Poliuri
Glukosuria ini akan mengakibatkan deurisis osmotik sehingga meningkatkan pengeluaran urin.


2.      Polidipsia
Polidipsi adalah rasa haus. Hal ini disebabkan oleh gejala lain yaitu poliuri atau banyak pengeluaran urin, sehingga untuk mengkompensasi hal tersebut tubuh akan  memberikan sinyal ke otak bahwa homeostasis tidak stabil, akhirnya rasa haus akan muncul sebagai kompensasi tubuh.
3.      Polifagia
Karena glukosa glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar mengakibatkan banyak makan (polifagia).
Manifestasi klinis yang lain akan muncul juga seperti :
1.      Glukosuria. Hal ini terjadi ketika kadar glukosa darah mengalami peningkatan yang sangat tinggi (hiperglikemi) dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka akan timbul glukosuria atau kencing manis.
2.      Turunnya berat badan.
3.      Lemah / somnolent
4.      Jika sakit berat bisa terjadi ketoasidosis dan dapat meninggal bila tidak dilakukan tindakan segera.
5.      Kesemutan atau gatal.
6.      Mata kabur.
7.      Disfungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vulva pada wanita.
Menurut Price and Wilson (2005), terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan pada umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosa hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut menderita polidipsi, poliuri, lemah dan somnolent. Biasanya mereka tidak mengalami ketoassidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup utnuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi,tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

2.1.5        Diagnosis

Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdekteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakan dengan glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis diabetes mellitus harus diperhatikan asal bahan dasar darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun begitu sesuai dengan kondisi setempat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan darah oleh WHO (Sidartawan Soegondo, 2004)
Tabel 2.1 Kadar glukosa sewaktu dan puasa
Pemeriksaan

Rendah
Sedang
Tinggi
Kadar gula darah
Plasma vena
<110
110-199
≥200
Sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler
<90
90-199
≥200
Kadar gula darah
Plasma vena
<110
110-125
≥126
Puasa (mg/dl)
Darah kapiler
<90
90-109
≥110
(Aru W Sudoyo, 2007)
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM. hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl pada hari yang lain, kadar gula sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi guloksa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200. Berikut ini adalah cara penatalaksanaan pemeriksaan TTGO :
1.      Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan.
2.      Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan.
3.      Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
4.      Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75 gr/kkBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
5.      Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
6.      Selama proses pemeriksaan subyek yang siperiksa tetapistirahat dan tidak merokok.
Selain pemeriksaan kadar glukosa di atas, terdapat diagnosis dan klasifikasi yang lain yaitu Indeks Tambahan. Indeks tambahan dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1.      Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta
Hal ini dapat dilakukan dengan melkaukan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin dan sekresi peptida penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated hemoglobin” (WHO memakai istilah “Glyclated hemoglobin”), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
2.      Indeks proses diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dilakukan penentuan tipe dan sub tipe HLA, adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau langerhand (islet cell antibodies), anti GAD (glutamic acid decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas ditemukan susunan DNA spesifik pada genom manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.

2.1.6        Pengobatan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskular serta neuropati. Tujuan terapi pada setiap tipe adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Secara garis besar penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus ada 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis adalah terapi dengan menggunakan obat atau insulin. Sedangkan terapi non farmakologis terapi tanpa menggunakan obat-obatan, seperti diet nutrisi, latihan, pemantauan dan penyululan atau pendidikan.
1.      Diet
Prinsip umum diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksaan diabetes. Tujuan terapi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1)      Memberikan semua unsur makanan esensial (vitamin, mineral).
2)      Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.
3)      Memenuhi kebutuhan energi.
4)      Mencegah fluktasi kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
5)      Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
Standar yang dianjurkan oleh Sidartawan Soegondo adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai berikut : Karbohidrat (60 – 70%); Protein (10 – 15 %); Lemak (20 – 25 %). Sedangkan menurut Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Diabetik Amerika merekomendasikan bahwa semua asupan kalori, 50 – 60 % kalori berasal dari karbohidrat, 20 – 30 % dari lemak dan 12 – 20% lainnya protein. Rekomendasi ini juga konsisten dengan rekomendasi Assosiate Cancer Sosiety dan The American Hearth Assosiation.
2.      Latihan
Pada klien dengan penyakit diabetes mellitus dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani secara teratur (3 – 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75 -85% denyut jantung maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
3.      Pemantauan
Pemantauan ini ditujukan untuk pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi jangka panjang. Pemeriksaan ini dianjurkan bagi pasien diabetes mellitus dengan :
1)      Penyakit diabetes yang tidak stabil.
2)      Kecenderungan untuk mengalami ketoasidosis berat atau hipoglikemia.
3)      Hipoglikemia tanpa gejala peringatan
4)      Ambang glukosa renal yang abnormal.
Frekuensi pemantauan mandiri glukosa darah dilakukan bagi sebagian besar pasien yang memerlukan insulin, pemeriksaan kadar glukosa darah sebanyak dua hingga empat kali sehari sebelum makan dan pada saat akan tidur malam. Bagi pasien dengan insulin sebelum makan, diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan untuk menentukan dosis yang aman. Sedangkan untuk klien tanpa insulin dapat memeriksa diri tiga hingga empat kali seminggu.
Interpretasi hasil pemantauan mandiri. Klien harus diberi tahu agar menyimpan hasil pemeriksaan gula darah dalam buku catatan atau log book sehingga klien dapat mengetahui pola dari kenaikan dan penurunan glukosa darahnya.
4.      Pendidikan dan penyuluhan
Dalam beberapa tahun ini telah terjadi peningkatan program pendidikan dan pelatihan diabetes bagi pasien-pasien rawat jalan. Informasi yang diberika haruslah menyangkut beberapa hal ini
1)      Patofisiologi sederhana yang berisis tentang : definisi diabetes mellitus (dengan kadar glukosa yang tinggi); batas-batas kadar glukosa yng normal; efek terapi insulin dan latihan; efek makanan dan stress, yang mencakup keadaan sakit dan infeksi; dasar pendekatan terapi.
2)      Cara-cara terapi, meliputi hal – hal sebagai berikut : pemberian insulin; dasar-dasar diet; dan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine.
3)      Pengenalan, penanganan dan pencegahan komplikasi akut yaitu : hipoglikemia dan hiperglikemia.
4)      Informasi yang pragmatis yaitu : di mana membeli dan menyimpan insulin, semprit, alat-alat untuk memantau kadar glukosa darah; kapan dan bagaimana cara menghubungi dokter.
5.      Terapi farmakologis
Sarana pengobatan untuk penyakit diabetes mellitus terdiri atas dua macam obat, yaitu obat hipoglikemia oral dan pemberian injeksi insulin.

1)     Obat hipoglikemi oral
Obat hipoglikemmi oral memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama adalah sebagai pemicu sekresi insulin. Contohnya adalah Sulfonilurea, obat golongan ini sudah dipakai sejak tahun 1957. Obat  golongan ini memiliki efek menstimulus sel beta pankreas untuk memproduksi insulin yang tersimpan, oleh karena itu obat ini hanya bermanfaat untuk orang yang masih memiliki kemampuan untuk mensekresi insulin. Mekanisme kerja dari obat golongan ini adalah : menstimulus pelepasan insulin yang tersimpan; menurunkan ambang sekresi insulin; meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Contoh obat lainnya adalah “Glinid”, Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan obat Sulfonilurea.
Fungsi  yang kedua adalah menambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh dari golongan ini adalah obat Biguanis, Tiazolidindion, glukosidase alfaobat. Biguanis, obat ini mampu menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan penurunan sampa dibawah normal. Efek samping yang tidak diinginkan adalah terjadinya asidosis laktat, meskipun sangat kecil yaitu 0,01 – 0,08 dari semua pengguan obat ini. Obat baru yang memiliki efek untuk meningkatkan sensitifitas insulin adalah Tiazolidindion, obat ini diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin. Obat penghambat glukosidase alfa obat memiliki efek menghambat kerja dari enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan dapat menurunkan glukosa postprandial.

2)     Insulin
Secara keseluruhan sebanyak 20 – 25% pasien diabetes mellitus tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Penyerapan insulin yang paling cepat adalah pada daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikan secara intramuskular maka penyerapannya akan lebih cepat dan masa kerjanya akan lebih singkat.

2.1.7        Komplikasi

Terdapat tiga komplikasi akut pada diabetes mellitus yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketosidosis diabetik dan sindrom HHNK / HONK (hiperglikemik hiperosmolar nonketotik / hiperosmolar nonketotik).
1.      Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa yang abnormal rendah. Hal ini terjadi bila kadar glukosa turun hingga 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/l) (Brunner and Suddarth, 2002). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas yang berat. Gejala yang nampak pada kasus hipoglikemia ada tiga macam yaitu :



1)     Hipoglikemia ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem syaraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah akan menyebabkan gejala seperti : tremor, takhicardi, palpitasi, kegelisahan dan lapar.
2)     Hipoglikemia sedang
Penurunan glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem syaraf mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, kofusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir dan lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.
3)     Hipoglikemia berat
Fungsi sistem syaraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemi yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
Penanganan kasus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. Rekomendasi biasanya berupa pemberian 10 hingga 15 gram gula yang bekerja cepet peroral :
(1)        2 – 4 tablet glukosa yang dapat dibeli di rumah obat / apotik
(2)        4 – 6 ons sari buah atau teh yang manis
(3)        6 – 10 butir permen khusus atau permen manis lainnya
(4)        2 – 3 sendok teh sirup atau madu
Apabila gejala bertahan lebih dari 10 menit hingga 15 menit sesudah terapi pendahuluan, ulangi terapi tersebut. Setelah gejala berkurang berikan makan camilan yang mengandung protein dan pati (seperti cracer dengan keju atau susu) kecuali jika pasien berencana untuk makan atau makan camilan dalam waktu 30 menit hingga 60 menit menurut jadwal makan. Pasien juga harus diberitahukan agar tidak mengkonsumsi makanan penutup mulut yang tinggi kalori dan tinggi lemak (kue-kue kering, tarcis, cakes donat, es krim) utnuk mengatasi hipoglikemia yang dialaminya. Karena dapat menghambat penyerapan glukosa ke dalam tubuh.
Pada kasus yang berat pasien tidak sadarkan diri, tidak mampu menelan atau menolak terapi maka pemberian preparat glukogon 1 mg per intramuskuler atau subcutan bisa diberikan, tetapi preparat glukagon harus dilarutkan dahulu dengan pelarutnya.
2.      Ketoasidosis diabetic
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Gambaran klinik dari diabetas ketoasidosis adalah : dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemia. Dalam upaya menghilangkan glukosa yang berlebih dalam tubuh ginjal akan mengekskresikan glukosa melalui air dan elektrolit (Na, K). Deurisis osmotik di tandai dengan poliuri ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita diabetes ketoasidosis yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 liter air dan sampai 400-500 mEq Na, K serta Cl selama preode waktu 24 jam. Akibatnya lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak diubah hati menjadi badan keton yang berlebih sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan itu. Badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
Gejala yang ditimbulkan pada kasus diabetes ketoasidosis adalah poliuri, polidipsi (haus), penglihatan kabur, lemah dan sakit kepala. Selain itu dapat juga terjadi hipotensi ortostatik, denyut nadi lemah dan cepat. Ketosis dan asidosis menimbulkan gejala gastrointestinal berupa anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen, nafas berbau keton (bau manis seperti buah), hiperventilasi hingga kussmaul. Perubahan mental pada ketoasidosis bervariasi. Nilai laboratorium kadar glukosa darah dapat bervariasi dari 300 – 800 mg/dl, bisa lebih tinggi hingga 1000 mg/dl atau lebih rendah.
Ada penyebab utama diabetes ketoasidosis yaitu :
1)        Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.
2)        Keadaan sakit atau infeksi.
3)        Manifestasi pertama dari penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.



Terapi yang dilakukan diarahkan pada perbaikan tiga masalah yaitu :
1)        Dehidrasi
Pada rehidrasi yang diperlukan sekitar 6 -10 liter cairan infus untuk menghilangkan cairan yang hilang karena poliuri, hiperventilasi dan muntah
2)        kehilangan elektrolit
Penggantian cairan elektrolit ditujukan untuk mengantikan kalium yang hilang.
3)        Asidosis
Asidosis dapat ditangani dengan pemberian insulin karena insulin memiliki efek untuk menghambat pemecahan lemak sehingga menggantikan senyawa yang bersifat asam.
3.      Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK)
Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolar dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga kehilangan cairan dan elektrolit, cairan akan berpindah dari intrasel ke ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi akan dijumpai hipernatremia dan peningkatan osmolaritas. Perbedaan dengan diabetes ketoasidosis tidak adanya badan keton yang diproduksi.
Gambaran klinis dari Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah hipotensi, dehidrasi berat (membran mukosa kering, turgor kulit jelek), takhikardi, dan gejala neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-kejang, hemiparesis). Keadaan ini makin serius dengan angka mortalitas yang sekitar 5% - 30% dan biasanya berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya. Terapi yang dilakukan adalah sama seperti pada kasus diabetes ketoasidosis, EKG mungkin diperlukan untuk melihat hearth reat.

2.2    Konsep Obesitas

2.2.1        Pengertian

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertanbah berat badanya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian bertambah banyak (Aru W Sudoyo, 2006).
Menurut Mayer, 1973 dalam Sholihin Pudjiadi (2000). Obesitas merupakan keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan untuk fungsi tubuh.
Kegemukan didefinisikan sebagai abnormal atau akumulasi lemak yang berlebihan yang menyajikan risiko untuk kesehatan (WHO2, 2009).





2.2.2        Etiologi Obesitas

Menurut beberapa teori ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan obesitas, yaitu :
1.      Faktor Genetik
Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor, berat badan seseorang 40 – 70% ditentukan secara genetik (Aru W S, 2006). Faktor resiko terkuat terjadinya obesitas pada anak dan remaja adalah mempunyai orang tua yang juga penderita obesitas. Baik obesitas terjadi pada ibu atau ayah, hal ini tidak membawa banyak perbedaan. Diduga, mempunyai orang tua yang keduanya penderita obesitas akan membawa faktor risiko yang lebih besar daripada hanya salah satu saja yang menderita obesitas (Rudolph, 2006 ).
2.      Faktor Lingkungan
Menurut Zainun Mutadin (2002) faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut  tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan.
3.      Kebiasaan makan
Menurut Zainun Mutadin (2002) Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.
4.      Kurangnya kegiatan fisik
Menurut Zainun Mutadin (2002) tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting.
5.      Kemiskinan / Kemakmuran
Semakin tinggi status ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya akan dimilikinya, hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh hati menjadi glikogen atau disimpan di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul obesitas. Di Amerika Serikat, sudah terbukti bahwa obesitas berkaitan dengan status sosial-ekonomi (Rudolph, 2006).


2.2.3        Penentuan Obesitas

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mngukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Saat ini IMT menjadi indikator paling bermanfaat untuk menentukan barat badan lebih atau obesitas. Orang yang lebih besar tinggi dan gemuk akan lebih berat dari orang yang lebih kecil.
Meta-analisa beberapa kelompok etnik berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia dan gender yang sama , menunjukkan Etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik Polanesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan Etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9 ; 4,6 ; 3,2 dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada Etnik Kaukasia.

Tabel 2.2 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO
Klasifikasi
IMT (kg/m2)
Berat badan kurang
<18,5
Kisaran normal
18,5 – 24,9
Berat badan lebih
                  > 25                 
Pra-obes
25,0 – 29,9
Obesitas tingkat I
30,0 – 34,9
Obesitas tingkat II
35,0 – 39,9
Obesitas tingkat III
> 40
(Aru W Sudoyo, 2006)
Tabel 2.3 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriterais Asia Pasifik
Klasifikasi
IMT
(kg/m2)
Resiko Ko-Morbiditas
Lingkar perut
< 90 cm (laki-laki)
≥ 90 cm (laki-laki)
< 80 cm (perempuan)
≥ 80 cm (perempuan)
Berat badan kurang
< 18,5
Rendah (resiko meningkat pada masalah klinis lain)
Sedang
Kisaran normal
18,5-22,9
Sedang
Meningkat
Berat badan lebih
≥ 23,0


·         Beresiko
23,0 – 24,9
Meningkat
Moderat
      Obes I
25,0 – 29,9
Moderat
Berat
      Obes II
≥ 30,0
Berat
Sangat berat

2.2.4        Penanganan Obesitas

Penurunan berat badan mempunyai efek yang menguntungkan terhadap penderita obesitas. Penurunan berat badan sebesar 5 – 10% dari berat awal mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan. Walaupun belum ada penelitian yang menunjukkan perubahan pada angka kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obesitas, dengan penurunan berat badan, pengurangan pada faktor resiko ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes tipe 2 serta kardiovaskular.


Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan / bedah.
1.      Terapi diet
Pada program manajemen berat badan, terapi diet perancanaan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 Kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun.
Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30% dari total kalori. Penggunaan prosentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL
2.      Aktivitas fisik
Peningkatan fisik merupakan komponen penting dari penurunan berat badan, walaupun aktivitas fisik tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko kardiovaskular dan diabetes mellitus lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas.
Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka panjang dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur.
Untuk pasien obesitas, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari.
Pasien dapat mulai antifitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 hingga 200 kalori per hari dapat dicapai.
Regimen ini dapat diadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena keamanan dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik tangga daripada naik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakkukan aktivitas yang lebih berat.
Strategi lain untuk meningkatkan aktifitas fisik adalah mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah.
3.      Terapi perilaku
Untuk mencapai punurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah dan dukungan sosial.
4.      Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen berat badan. Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obat penurun berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orslistat sangat berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien gagal jantung, jantung koroner, aritmia dan riwayat stroke.
Orsitat menghambat absorbsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orsitat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorbsi parsial. Semua pasien harus dipantau efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efisiensi dan keamanan.
5.      Pembedahan
Terapi bedah merupakn salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI≥40 atau ≥35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstream.
Bedah gastrointestinal (retriksi gastrik atau bypass gastric) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang termotivasi dengan resiko operasi rendah.
Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik dan perubahan perilaku serta dukungan.

2.2.5        Dampak Obesitas

Dampak dari obesitas merupakan penyakit-penyakit yang banyak memakan korban meniggal dunia. Termasuk jantung coroner dan diabetes mellitus yang saai ini telah banyak dibicarakn oleh dunia kesehatan tentang penanganannya.
1.      Penyakit jantung dan stroke
Mereka dengan IMT paling sedikit 30 mempunyai 50-100% peningkatan risiko kematian dibandingkan mereka dengan IMT 20-25.  Obesitas tipe buah apel mempunyai resiko hampir 3 kali untuk menderita penyakit jantung dibandingkan dengan BB normal. Meningkatnya lemak pada daerah perut secara spesifik dihubungkan dengan kekakuan pembuluh darah aorta, yaitu pembuluh darah arteri utama yang memberikan darah ke organ-organ tubuh.
2.      Tekanan darah tinggi
Hubungan antara obesitas dan hipertensi adalah kompleks dan mungkin menggambarkan interaksi faktor genetik, demografi dan biologik. Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa penurunan BB bermanfaat untuk mengurangi tekanan darah.
3.      Gagal jantung
Suatu penelitian tahun 2002 melaporkan bahwa obesitas mungkin bertanggung jawab terhadap 11% gagal jantung pada pria dan 14 % pada wanita. Tetapi mekanismenya masih belum jelas.
4.      Gangguan lemak darah (Dislipidemia)
Efek obesitas pada kadar kolesterol adalah kompleks. Walaupun obesitas tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan kadar kolesterol, tetapi  kadar Trigliserida (TG) biasanya tinggi sedang Kolesterol baik (HDL) cenderung menurun yang keduanya menyebabkan penyakit jantung.
5.      Resistensi insulin dan DM tipe2
Kebanyakan penderita DM tipe 2 adalah obesitas dan pada kenyataannya  memberikan kesan yang kuat bahwa penurunan BB dapat menjadi kunci di dalam mengontrol terhadap DM tipe 2, yang mempunyai kelainan berupa ketidakmampuan menggunakan insulin di dalam metabolisme glukosa.
Keadaan ini sering disebut dengan resistensi insulin dan juga dihubungkan dengan hipertensi dan kelainan pembekuan darah. Walaupun mekanisme yang tepat hubungan antara obesitas dan DM tipe 2 sama sekali belum jelas, tetapi sel2 lemak dapat melepaskan zat kimia tertentu yang menghambat kepekaan tubuh terhadap insulin.
6.      Sindroma metabolik (sindroma X)
Terdiri dari obesitas yang ditandai dengan penumpukan lemak pada daerah perut, gangguan kolesterol, hipertensi, dan resistensi insulin. Tampaknya faktor genetik berperanan, walaupun obesitas dan makan yang cepat memegang peranan penting di dalam perkembangan sindroma ini. Sindroma metabolik secara signifikan dihubungkan dengan penyakit jantung dan angka kematian yang lebih tinggi.

2.3    Konsep Stress

2.3.1        Pengertian Stress

Menurut Selye dalam buku Fundamental Keperawatan volume 1, stress adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Potter and Perry, 2005).
Menurut Dadang Hawari dalam buku psikologi untuk keperawatan, stress adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor psikososial (Sunaryo, 2004).
Ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatn fisik manusia tersebut (National Safety Council, 2004).

2.3.2        Mekanisme Fisologi  Tubuh Terhadap Stress

Karena respon tubuh terhadap stress akan terasang sistem syaraf simpatis, sering dikatakan bahwa tujuan sistem simpatis adalah untuk mengadakan penggiatan tambahan dari tubuh dalam keadaan stress. Ini sering disebut reaksi stress simpatis. Sisten simpatis juga sangat digiatkan dalam banyak keadaan emosional. Misalnya dalam keadaan merah, yang terutama ditimbulkan oleh perangsangan hipotalamus, ini menyebabkan terangsangnya saraf simpatis atau lebih dikenal dengan istilah reaksi alaram simpatis (Guyton  and Hall, 2007)
Secara fisiologis sistem syaraf simpatis akan miningkatkan kegiatan metabolisme dalam tubuh, secara khusus menyebabkan beberapa hal dibawah ini :
1.      Peningkatan tekanan arteri (tekanan darah).
2.      Peningkatan aliran darah ke otot-otot aktif berbarengan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ yang tidak penting untuk kegiatan cepat.
3.      Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh.
4.      Peningkatan glikolisis di dalam otot.
5.      Peningkatan kekuatan otot.
6.      Peningkatan konsentrasi glukosa darah.
7.      Peningkatan kegiatan mental.
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin  untuk mengeluarkan ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).

2.3.3        Penyebab Stress dan Stressor psikosal

Menurut Iyus Yosep (2007) stressor psikosal adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja atau dewasa), sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul. Namun, tidak semua mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbulah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Pada umumnya jenis stressor psikosal dapat digolongakn sebagai berikut :
1.        Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami seseorang : misalnya pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya. Stressor perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
2.        Problem Orang Tua
Permasalahan yang hadapi orang tua misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut di atas merupakan sumber stress yang pada gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.
3.        Hubungan Interpersonal (Antarpribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antar atasan dan bawahan, dan lain sebagainya. Konflik hubungan interpersonal ini dapat merupakan sumber stress bagi seseorang dan yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya.
4.        Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber  stress kedua setelah masalah perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK) dan lain sebagainya.
5.        Lingkungan Hidup
Kondisi lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang.  Misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan sebagainya. Rasa tercekam dan tidak merasa aman ini sangat mengganggu ketenagan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh ke dalam depresi dak kecemasan.
6.        Keuangan
Masalah keuangan (kondisi social ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan, dan lain sebaggainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang dan seringkali masalah keuangan ini merupakan faktor yang membuat seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
7.        Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan stress pula, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain-lain. Stress di bidang hukum ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan
8.        Perkembangan
Yang dimaksud disini adalah masalah perkembangn baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan terutama pada mereka yang mengalami menopause dan usia lanjut. Sedangkan menurut penelitan terbaru, pada umur 40 tahun kinerja otak kita mulai menurun. Ini berkaitan dengan selubung mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak. Di atas umur 40, tubuh kita mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui selubung itu, sehinga menyebabkan berbagai gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan (Catshade, 2009).
9.        Penyakit Fisik dan  Cidera
Sumber stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini antara lain penyakit, kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker dan sebagainya.
10.    Faktor Keluarga
Yang dimaksud disini adalah faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan kondisi keluarga yang tidakbaik (yaitu sikap orang tua) misalnya:
1)      Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh ketegangan atau acuh tak acuh.
2)      Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak.
3)      Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik.
4)      Kedua orang tua berpisah dan bercerai.
5)      Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa / kepribdian
6)      Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah, keras, dan otoriter dan lain sebagainya.

11.    Lain-lain
Stressor kehidupan lainnya juga dapat menimbulakan depresi dan kecemasan adalah antara lain bencana alam, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan lain sebagainya.

2.3.4        Model-Model Stress

Asal dan efek stress dapat diperiksa dalam istilah kedokteran dan model teoritis perilaku. Model stress digunakan untuk mengidentifikasi stressor bagi individu tertentu dan memprediksi respon individu tersebut terhadap stressor. Setiap model menekankan aspek stress yang berbeda.
Perawat menggunakan model stress untuk membantu klien mengatasi respon yang tidak sehat, non-produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat berespon dalam merawat dengan cara yang menunjukkan individualisasi bagi klien.
1.      Model Stress Berdasarkan Respon
Model ini mengidentifikasi stress sebagai respon induvidu terhadap stressor yang diterima. Selye (1982) menjelaskan stress sebagai respon non spesifik yang timbul terhadap tuntunan lingkungan, respon umun ini disebut sebagai general adaptasi sindrom (GAS) dan dibagi menjadi tiga fase yaitu : fase sinyal, fase perlawanan dan fase keletihan (Iyus Yosep , 2007).
1)     Reaksi alaram / sinyal
Merupakan respon siaga (flight or flight), yang termasuk disini adalah efek aktivasi sistem syaraf autonom dan mempunyai karakteristik adanya penurunan resistensi tubuh terhadap stress. Medula adrenal sebaliknya mensekresi adrenalin dan nonadrenalin. Hormon adrenokortikotropik (ACTH) dihasilkan oleh glandula hipofisis, yang menstimulus korteks adrenal untuk melepaskan glikokortikotiroid. Dapat terjadi peningkatan emosi dan ketegangan (Niven Neil, 2000).
2)     Tahap resistensi / perlawanan
Hipofisis terus mengeluarkan ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid, yang penting untuk resistensi terhadap stress karena glukokortikoid merangsang konversi lemak dan protein menjadi glukosa yang menghasilkan energi untuk mengatasi stress. Selama tahap ini, resistensi terhadap stress yang khusus meningkat dan kemudian respon yang sifatnya sama akan hilang. Banyak penyakit yang berhubungan dengan stress timbul pada tahap resistensi. Beberapa mungkin berhubungan dengan efek dari hormon glukokortikoid yang menghambat pembentukan antibodi, dan menurunkan pembentukan sel darah putih. Bagian lain dari tahap resistensi GAS adalah penekanan dari banyak fungsi tubuh yang berhubungan dengan perlaku seksual dan reproduksi. Pada pria, produksi sperma menurun, karena penurunan sekresi hormon seksual pria; pada wanita siklus menstruasi terganggu atau tertekan (Niven Neil, 2000).
3)     Tahap kelelahan / keletihan
Jika stress yang khusus tersebut terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk menahannya dan untuk menghindari stress yang lain pada akhirnya akan gagal (Niven Neil, 2000).


2.      Model Berdasar Stimulus
Model stimulus berdasarkan pada analogi sederhana dengan hukum elastisitas, Hooke menjelaskan hukum elastisitas untuk menguraikan bagaimana beban dapat menimbulkan kerusakan. Jika strain yang dihasilkan oleh stress yang diberikan berada pada batas elastisitas dari material tersebut akan kembali ke kondisi semula, tetapi jika strain yang dihasilkan melampaui batas elastisitasnya maka kerusakan akan terjadi.
Pendekatan model stimulus ini menganggap stress sebagai ciri-ciri dari stimulus lingkungan yang dalam beberpa hal dianggap mengganggu atau merusak, model yang digunakan pada dasarnya adalah stressor eksternal akan menimbulkan reaksi stress atau strain dalam diri individu. Pendekatan ini menempatkan stress sebagai sesuatu yang dipelajari dan menekankan pada stimulus apa yang merupakan diagnosa stress. Hal ini memandang bagaimana sumber daya individu. Kelemahan dari model stimulus ini adalah kegagalannya dalam memperhitungkan cara orang menyatakan realita dari stimulus lingkungan terhadap respon. (Iyus Yosep , 2007).
3.      Model Berdasar Transaksional
Pendekatan ini mengacu pada interaksi yang timbul manusia dan lingkungannya. Antarvariabel lingkungan dan individu terhadap proses penilaian kognitif yang menjadi mediatornya. Studi yang berlandaskan pada pendekatan ini menyimpulkan bahwa kita tidak akan dapat memprediksi penampilan seseorang hanya dengan mengenali stimulus, individu bervariasi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu dengan melakukan koping terhadap berbagai tuntutan.
Tiga tahap dalam mengukur potensial yang mengandung stress yaitu pengukuran suatu situasi potensial mengandung stress : (1) pengukuran primer; menggali persepsi individu terhadap masalah saat ia menilai tantangan atau tuntutan yang menimpanya; (2) pengukuran skunder; mengkaji kemampuan seseorang atau sumber-sunber tersedia diarahkan untuk mengatasi masalah; (3) pengukuran tersier, berfokus pada perkiraan keefektifan perilaku koping dalam mengurangi dan menghadapi ancaman. (Iyus Yosep , 2007)

2.3.5        Klasifikasi  Stress

Apabila ditinjau dari penyebabnya stress, stress dapat digolongkan sebagai berikut :
1.      Stress fisik (suara, cahaya, temperatur, dan lain-lain).
2.      Stress kimiawi (asam-basa kuat, obat-obatan dan lain sebagainya).
3.      Stress mikrobiologik (virus, bakteri, parasit).
4.      Stress fisiolosik (gangguan struktur, fungsi jaringan).
5.      Stress proses pertumbuhan dan perkembangan (gangguan pertumbuhan dan perkembangan dari kecil hingga tua).
6.      Stress psikis / emosional (gangguan hubungan personal, sosial,budaya atau keagamaan).


2.3.6        Gejala Dalam Tahapan Stress

Gangguan stress biasanya timbul secara lambat, tidak jelas kapan mulainya dan sering kali tidak disadari. Namun demikian dari pengalaman praktik psikiatri, para ahli mencoba membagi stress tersebut dalam enam tahap yaitu (Iyus Yosep, 2007) :
1.      Stress tingkat I
Tahap ini merupakan tingkat stress yang paling ringan, dan biasanya disertai perasaan sebagai berikut :
1)      Semangat besar.
2)      Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.
3)      Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
2.      Stress tingkat II
Dalam tahap ini dampak stress yang menyenangkan mulai hilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cakupan energi tidak mencukupi sepanjang hari. Keluhan-keluahn yang sering dikemukakan sebagai berikut :
1)      Merasa letih sewaktu bangun pagi.
2)      Merasa lelah sesudah makan siang.
3)      Merasa lelah menjelang sore hari.
4)      Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang pula jantung berdebar-debar.
5)      Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher).
6)      Perasaan tidak santai.
3.      Stress tingkat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejala-gejala
1)      Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering inginkebelakang).
2)      Otot-otat terasa lebih tegang
3)      Perasaan tegang semakin meningkat.
4)      Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan suka tidur kembali atau bangun terlalu pagi).
5)      Badan terasa oyong, rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)
Pada tahap ini penderitan sudah mulai berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stress dan tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi guna memulihkan suplai energi.
4.      Stress tingkat IV
Tahap ini sudah menunjukan keadaan yang lebih buruk yang ditandai  dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1)      Untukbisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit
2)      Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit.
3)      Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan, dan sering terbangun dini hari
4)      Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat.
5)      Perasaan negatif
6)      Kemempuan berkonsentrasi menurun tajam
7)      Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa.
5.      Stress tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan lebih mendalam dari tahapan IV diatas yaitu:
1)      Keletihan yang mendalam
2)      Untuk pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu
3)      Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses cair dan sering ke belakang.
4)      Perasaan takut yang semakin manjadi, mirip panic
6.      Stress tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahap puncak yang merupakan keadaan gawat darurat, tidak jarang penderita dalam tahap ini dibawa ke ICU. Gejala-gejala pada tahap ini adalah :
1)      Debar jantung terasa amat kuat, hal ini disebabkan zat adrenalin dikeluarkan, karena stress cukup tinggi dalam peredaran darah.
2)      Sesak nafas
3)      Badan gemetar, tubuh dingin dan keringat bercucuran
4)      Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan.


2.3.7        Pengukuran Stress

Merurut Holmes dan Rahe pengukuran stress berdasarkan perubahan-perubahan besar dalam hidup seseorang. Ini disusun setelah melakukan penelitian berulang.
No
Pengalaman kehidupan
Skor
1
Kematian suami atau istri
100
2
Perceraian
65
3
Kematian anggota keluarga dekat
63
4
Mengalami penyakit / tersinggung
53
5
Menikah
50
6
Diberhentikan dari pekerjaan (PHK)
47
7
Rujuk kembali dalam perkawinan
45
8
Pensiun / pengasingan diri
45
9
Gangguan kesehatan anggota keluarga
44
10
Kehamilan
40
11
Mengalami kesulitan berhubungan badan (seksual)
39
12
Ketambahan anggota keluarga baru
39
13
Perubahan keadaan keuangan
38
14
Kematian sahabat
37
15
Berganti profesi / pekerjaan
36
16
Pertengkaran dengan suami / istri
35
17
Mengambil uang simpanan / hutang dengan jumlah besar
31
18
Melunasi hutang dalam jumlah besar / mencegah penggadaian atas pinjaman
30
19
Perubahan tanggung jawab dalam tugas kerja
29
20
Anak meniggalkan rumah (menikah, masuk perguruan tinggi)
29
21
Menghadai masalah dengan mertua / menantu / ipar
29
22
Merasakan prestasi yang memuaskan
28
23
Istri mulai / berhenti bekerja
29
24
Memulai atau menyelesaikan, tukar kegiatan studi / sekolah
18
25
Perubahan kebiasaan (tidak merokok, berdandan, berinteraksi)
24
26
Mengalami konflik dengan atasan
23
27
Pergantian jam kerja
20
28
Pindah tempat tinggal
20
29
Pindah sekolah / tempat studi atau program studi
18
30
Pergantian hiburan
19
31
Hutang dalam jumlah sedikit
17
32
Perubahan kebiasaan tidur
16
33
Perubahan kebiasaan makan
15
34
Cuti atau libur panjang
13
35
Perubahan dalam jumlah pertemuan keluarga (lebaran)
15
Table 2.4 skala stress menurut Holmes dan Rahe (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008)
36
Pelanggaran hukum ringan
11

Keterangan :
0 – 149            :  Tidak ada masalah yang berarti.
150 – 199        :  Stress ringan dengan 37% kemungkinan sakit.
200 – 299        :  Stress sedang dengan 51% kemungkinan sakit.
300 – lebih      :  Stress berat dengan 79% kemungkinan sakit.

2.3.8        Adaptasi (Mekanisme Penyesuaian Diri)

Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar dari pengalaman untuk mengatasi stress. Cara mengatasi stress ada beberapa cara yaitu :
1.      Identifikasi
Suatu cara yang digunakan individu untuk menghadapi orang lain dengan membuatnya menjadi kepribadiannya, ia ingin serupa dan bersifat seperti orang lain tersebut.
2.      Kompensasi
Seorang individu tidak memperoleh kepuasan di bidang tertentu, tetapi mendapatkan kepuasan dibidang lain.
3.      Overcompensasi / reaction formation
Perilaku seseorang yang gagal dalam mencapai tujuan dan tidak mengakui tujuan pertama tersebut dengan melupakan dan melebih-lebihkan tujuan kedua yang biasanya berlawanan dengan tujuan pertama.
4.      Sublimasi
Suatu mekanisme sejenis yang memegang peranan positif dalam menyelesaikan suatu konflik dengan pengembangan kegiatan yang konstruktif. Penggantian objek dalam bentuk – bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat yang derajatnya lebih tinggi.
5.      Proyeksi
Mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain. Mutu proyeksi lebih rendah dari rasionalisasi.
6.      Introyeksi
Memasukkan dalam diri pribadi sifat-sifat dari pribadi orang lain.
7.      Reaksi konversi
Secara singkat mengalihkan konflik ke alat tubuh atau mengembangkan gejala fisik.


8.      Represi
Konflik pikiran, impuls-impuls yang tidak dapat diterima dengan paksaan ditekan ke dalam alam tidak sadar dan sengaja dilupakan.
9.      Supresi
Menekan konflik, impuls-impuls yang tidak dapat diterima dengan secara sadar. Individu tidak mau memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan dirinya.
10.  Denial
Penolakan terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan.
11.  Menarik diri (regresi)
Mekanisme perilaku seseorang yang apabila menghadapi konflik frustrasi, ia menarik diri dari pergaulan dengan lingkungannya.
12.  Fantasi
Apabila seseorang menghadapi konflik-frustrasi, ia menarik diri dengan berkhayal atau berfantasi.
13.  Negativisme
Perilaku seseorang yang selalu bertentangan / menentang otoritas orang lain dengan perilaku tidak terpuji.
14.  Sikap mengkritik orang lain
Bentuk perilaku pertahanan diri untuk menyerang orang lain dengan kritikan-kritikan. Perilaku ini termasuk perilaku agresif yang aktif (terbuka).



2.4    Kerangka Konsep

Faktor yang tidak dapat diubah

Genetik
Usia
Kadar Gula Darah Acak (GDA) tinggi pada pasien DM tipe II
Faktor yang dapat diubah
Resistensi insulin
Obesitas
 








Kurang aktivitas
                                                                                                           
Merokok dan Alkohol

Diet tinggi karbohidrat dan rendah serat
Asupan lemak
Sosial ekonomi
Status Rural Urban
↑ System Saraf Simpati
Glikoneogenesis
Stress / ketegangan
Glukosa
 








Keterangan :

                               :    Diteliti

                               :    Tidak diteliti
Gambar 2.1     Kerangka Konsep Hubungan Antara Obesitas Dan Stress dengan kadar gula darah acak pada Pasien Diabetes Mellitus Di Puskesmas Karangbinangun tahun 2009

H1     :     Terdapat hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun tahun 2009
Penyakit diabetes mellitus disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah, faktor yang tidak dapat diubah meliputi keadaan genetik, usia dan faktor yang dapat diubah meliputi faktor obesitas, stress, asupan lemak, kurang aktivitas, diet nutrisi karbohidrat dan rendah serat, status rural dan urban, asupan alkohol dan rokok dan status ekonomi. Dari faktor-faktor di atas yang akan dilakukan penelitian adalah faktor yang dapat diubah khususnya obesitas dan stress.



BAB 3

3.1  Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tujuan atau menjawab suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2003:80).
Desain yang digunakan adalah analitik (studi korelasi) yang bertujuan untuk mencari, menjelaskan suatu hubungan yang ada sehingga fenomena kesehatan dapat terjadi. Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yakni penelitian menekankan pada waktu pengukuran data variabel independen dan dependen sekaligus pada satu saat.

3.2  Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November 2009, dengan tempat penelitian di Puskesmas Karangbinangun kecamatan Karangbinangun kabupaten Lamongan.




3.3 
Populasi :   pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas karangbinangun bulan november 2009 yang berjumlah 30 orang.
Kerangka Kerja


Sampling : Consecutive sampling

Sampel    : Diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas karangbinangun pada bulan November 2009 sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang berjumlah 12 pasien
Variabel independen
- Obesitas         - Stress
Pengumpulan data : - Kuesioner terpimpin  -  Lembar observasi
                                 - Timbangan injak        - Mikrotoa
Pengolahan data dan analisis Spearman
Penyajian hasil
Penarikan Kesimpulan
Variabel dependen : Kadar Gula Darah Acak (GDA) Pada Pasien Diabetes mellitus tipe II
Desain : cross-sectional
 


















Gambar 3.1  Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Antara Obesitas Dan Stress Dengan Kadar Gula Darah Acak Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun tahun 2009.





3.4    Identifikasi Variabel

3.4.1        Pengertian Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Soekidjo Notoatmojo, 2005:70).
Menurut Soeparto, dkk, 2000:54 dalam buku konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Nursalam, 2003:101).

3.4.2        Variabel dalam penelitian ini adalah:

1.      Variabel Independen (Bebas)
Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008:97). Pada penelitian ini variabel independennya ada dua yaitu “Obesitas” dan “Stress”.
2.      Variabel Dependen (Terikat)
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008:98). Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah “Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II”.

3.5  Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel adalah ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati/diteliti (Soekidjo Notoatmojo, 2005:70).
Tabel 3.1   Definisi Operasional Hubungan Antara Obesitas Dan Stress Dengan Kadar Gula Darah Acak Pada Pasien Jumlah Diabetes Mellitus TipeII Di Puskesmas Karangbinangun

No
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Alat Ukur
Skala Data
Skor
1
Variabel independen Obesitas
Kelebihan berat badan responden dibanding-kan BMI
 Berat Badan
Tinggi Badan

Timbang-an berat badan

Mikrotoa
Ordinal
Tidak obesitas
BMI <23
Beresiko obesitas
BMI (23,0 – 24,9)
Obesitas I
BMI (25,0 – 29,9)
Obesitas II
BMI (>30)
2
Variabel Independen Stress
Penilaian tingkat stress pada pasien diabetes mellitus tipe II berdasarkan skala Holmes dan Rahe 
Skala Holmes dan Rahe
Kuisioner terpimpin
Ordinal
Tidak stress
(0 – 149)
Stress ringan
(150 – 199)
Stress sedang
(200 – 299)
Sress berat
(300 – lebih)
3
Variabel dependen gula darah acak pasien diabetes mellitus tipe II
Hasil pengukuran kadar gula darah sewaktu ≥200
Pemerik-saan kadar gula darah
Glukotest
Ordinal  
Rendah
GDA : ≤90
Sedang
GDA : 90-199
Tinggi
GDA : ≥200

3.6  Populasi Sampel dan Sampling

3.6.1        Populasi

Populasi adalah setiap subyek yang mengetahui kriteria yang ditetapkan (Nursalam, 2003:93).
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:130). Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh Pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas Karangbinangun pada bulan November 2009.

3.6.2        Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu. ( Wasis, 2008 : 45). Pada penelitian ini sampelnya adalah sebagian pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung  di puskesmas Karangbinangun pada bulan November 2009.
Kreteria inklusi adalah karakteristik yang dapat dirumuskan atau yang layak untuk diteliti (Nursalam, 2003:96). Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1.      Secara fisik sadar dan dapat berkomunikasi.
2.      Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
3.      Responden berusia lebih dari 30 tahun keatas.
Kreteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak layak untuk diteliti (Nursalam, 2003:97).

3.6.3        Sampling

Sampling merupakan suatu proses dalam menyeleksi porsi dan populasi untuk dapat mewakili populasinya (Nursalam, 2003:93).
Sampling yaitu dari seluruh individu yang menjadi objek penelitian (Mardalis, 2004). Metode sampling yang digunakan adalah Non Probability sampling dengan jenis Consecutive sampling.
Menurut Sastroasmoro & ismail, 1995:49. Consecutive sampling adalah cara pengambilan sampel dengan menetapkan subyek yang memenuhi kreteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2003:98).

3.7  Pengumpulan dan Analisa Data

3.7.1        Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik seubjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008:111).Setelah mendapat ijin baik dari akademik, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan, maupun Kepala Puskesmas Karangbinangun, peneliti mengadakan pendekatan dengan responden untuk mendapat persetujuan dari responden sebagai subjek penelitian, yaitu seluruh penderita diabetes mellitus yang berkunjung di puskesmas karangbinangun pada bulan November 2009 yang memenuhi kriteria inklusi.

3.7.2        Cara pengumpulan data

Cara pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menentukan terlebih dahulu pasien mengalami diabetes mellitus tipe II, yaitu dengan menyingkirkan pasien diabetes mellitus dibawah 30 tahun, kemudian dilajutkan dengan pemeriksaan Kadar Gula Darah Acak dengan menggunakan alat glukotest. Setelah itu pasien akan diukur berat badan dan tinggi badannya dengan menggunakan timbangan dan mikrotoa. Pengukuran terakhir adalah dengan memberikan pertanyaan kuesioner kepada pasien untuk pengukuran tingkat stress yang dialami selama setahun terakhir. Akhirnya data dikumpulkan dalam satu tempat yang selanjutnya akan masuk pada tahap selanjutnya.

3.7.3        Instrument

Instrument penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:48). Dalam penelitian ini variabel independen obesitas, metode yang digunakan adalah pengukuran biofisiologis dan untuk mendapatkan data tersebut dibutuhkan alat berupa timbangan berat badan dan metline. Variabel independen yang kedua adalah Stress alat yang digunakan adalah kuesioner berbentuk pertanyaan tertutup atau closed ended dengan jumlah pertanyaan adalah 36. Pada variabel dependen (GDA Pada Pasien diabetes mellitus tipe II) peneliti menggunakan glukotest dari darah kapiler, dan hasilnya dicantumkan pada lembar observasi.

3.7.4        Analisa Data

Dari hasil pengisian kuesioner kemudian diadakan teknik pemberian skor dengan menggunakan skala ordinal, yaitu data yang disusun atas dasar jenjang dalam atribut tertentu (Nursalam, 2003:124).
Langkah-langkah analisis data
1.      Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007:121).
Peneliti akan memeriksa kembali apakah kuesioner diisi sesuai dengan petunjuk sebelumnya, mungkin terdapat kuesioner yang belum diisi atau pengisian tidak sesuai dengan petunjuk. Semua kekuarangan dan kerusakan kita yang mengedit, sebaiknya diperbaiki dengan jalan menyuruh mengisi kembali kuesioner yang masih kosong pada responden semula.
2.      Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori (Hidayat, A. Aziz Alimul A, 2007:121).
Pemberian kode untuk lembar pengukuran / observasi adalah diberikan untuk hasil dari pengukuran berat badan dan tinggi badan, setelah dihitung dengan rumus BMI
Kode I untuk Tidak obesitas              : BMI <23
Kode II untuk Beresiko obesitas        : BMI (23,0 – 24,9)
Kode III untuk Obesitas I                  : BMI (25,0 – 29,9)
Kode IV untuk Obesitas II                 : BMI >30
Pemberian kode diberikan pada lembar kuesioner, setelah dilakukan penjumlahan terhadap skor pada skala stress yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kode A untuk skor  0 – 149              :  Tidak ada masalah yang berarti.
Kode B untuk skor  150 – 199           :  Stress ringan
Kode C untuk skor  200 – 299           :  Stress sedang
Kode D untuk skor  300 – lebih         :  Stress berat



Pemberian kode yang terakhir yaitu hasil pengukuran dari test gula darah dengan menggunakan glukotest, yaitu :
Kode (-)  jika Kadar Gula Darah Acak (GDA)         : ≤90                : Rendah
Kode (+/-) jika Kadar Gula Darah Acak (GDA)       : 90-199           : Sedang
Kode (+) jika Kadar Gula Darah Acak (GDA)          : ≥200              : Tinggi
3.      Scoring
Memberikan skor atau nilai pada jawaban responden. Jawaban benar diberi nilai atau skor sesuai dengan skor yang telah ditentukan, sedangkan jawaban yang salah diberi nilai atau skor 0, kemudian data di interprestasikan dengan modifikasi penerikan kesimpulan.
Skor untuk Obesitas
1)      Tidak obesitas                  : BMI <23
2)      Beresiko obesitas             : BMI (23,0 – 24,9)
3)      Obesitas I                         : BMI (25,0 – 29,9)
4)      Obesitas II                       : BMI (>30)
Penentuan tingkat Stress
1)      Tidak stress                      : (0 – 149)
2)      Stress ringan                     : (150 – 199)
3)      Stress sedang                   : (200 – 299)
4)      Sress berat                        : (300 – lebih)


Penentuan kadar gula darah
1)      Rendah                             : (Kadar Gula Darah Acak : ≤90)
2)      Sedang                            : (Kadar Gula Darah Acak : 90-199)
3)      Tinggi                               : (Kadar Gula Darah Acak : ≥200)
Dari hasil analisa data tersebut akan diinterpretasikan dengan skala :
Seluruhnya                                          : 100%
Hampir seluruhnya                              : 76-99%
Sebagian besar                                   : 51-75%
Setengah                                             : 50%
Hampir setengah                                 : 26-49%
Sebagian kecil                                     : 1-25%
Tidak satupun                                     : 0%
(Suharsimi Arikunto, 1998)
4.      Tabulating
Tabulating yaitu pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis (Budiarto, 2001).
5.      Uji statistika
Penghitungan data statistik menggunakan program SPSS 11.5 dengan rumus spearman yaitu :
Keterangan :
rs      =   nilai korelasi spearman rank
d      =   selisih setiap pasangan rank
n      =   jumlah pasangan rank speerman untuk (5<n<30)
6.      Cara penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan setelah perhitungan statistik dengan menggunakan program SPSS 11.5. jika p < α (0,05) maka H1 diterima, artinya terdapat hubungan antara Obesitas dan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus. Sedangkan jika α (0,05) < p, maka H1 ditolak, artinya tidak terdapat hubungan antara obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas Karangbinangun.
7.      Piranti/alat yang digunakan untuk menganalisa (manual/digital)
Peneliti menggunakan program SPSS 11.5 dalam menganalisa data menggunakan analisis spearman.

3.8  Etika Penelitian

Etika yang mendasari dilaksanakannya suatu penelitian, meliputi:

3.8.1        Informed Concent atau Lembar Persetujuan Menjadi Reponden

Lembar persetujuan peneliti diberikan kepada responden. Persetujuan diberikan pada subjek yang akan diteliti oleh peneliti, sehingga subjek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subjek bersedia diteliti maka harus ditandatangani lembar persetujua, tetapi jika subjek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007).

3.8.2        Anonimity atau Tanpa Nama

Untuk menjaga kerahasiaan subjek, peneliti tidak mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data, cukup diberi kode atau nomor tertentu pada lembar tersebut (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007).

3.8.3        Confidentiality atau Kerahasiaan

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data saja yang akan disajikan atas laporan hasil penelitian (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007).

3.9  Keterbatasan

1.         Metode penelitian menggunakan metode cross sectional sehingga penelitian ini tidak  dapat mengetahui penyebab dari suatu penelitian, hanya menghubungkan faktor resiko dengan kejadian suatu penyakit
2.         Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel dependen dan independen hanya satu waktu.
3.         Penelitian ini hanya dilakukan dalam waktu satu bulan saja, sehingga data yang didapatkan sedikit.
4.         Alat yang  digunakan masih kurang memenuhi standart.





BAB 4

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian yang dilakukan pada bulan November tahun 2009 di Puskesmas Karangbinangun, kecamatan Karangbinagun Kabupaten Lamongan.
Hasil penelitian ini disajikan dalam 2 bagian yaitu data umum dan data khusus. Data umum meliputi gambaran umum lokasi penelitian dan karakteristik responden yang terdiri dari umur dan jenis kelamin. Sedangkan data khusus terdiri dari hasil pengukuran BMI, tingkat stress dan Kadar Gula Darah Acak responden, serta hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus  tipe II.

4.1         Hasil Penelitian

4.1.1        Data Umum

1.        Gambaran Lokasi Penelitian
Wilayah puskesmas Karangbinangun berada sungai bengawan Solo, luas wilayah kurang lebih . 1.724,01 Ha. Kawasan terdiri dari sawah dan tambak yang sebagian besar adalah tanah tadah hujan. Batas wilayah kerja puskesmas
Sebelah Utara             :    Bengawan Solo Kec. Dukun Gresik
Sebelah Timur             :    Bengawan Solo Kec. Bungah Gresik
Sebelah selatan           :    Kec. Glagah dan Kec. Deket.
Sebelah Barat             :    Kec. Kalitengah 
Jumlah Desa wilayah kerja puskesmas Karangbinangun ada 21 desa yaitu :
1)      Desa Blawi
2)      Desa Putat Bangah
3)      Desa Ketapang telu
4)      Desa Gawe Raja
5)      Desa Somowinangun
6)      Desa Karanganum
7)      Desa Kuro
8)      Desa Sukorejo
9)      Desa Waruk
10)  Desa Baranggayam
11) Desa Priyoso
12)  Desa Karangbinangun
13)  Desa Banjarejo
14)  Desa Plalangan
15)  Desa Mayong
16)  Desa Pendowolimo
17)  Desa Bago Babatan
18)  Desa Windu
19)  Desa Watang Panjang
20)  Desa Sambo Pinggir
21)  Desa Banyu Urip
Tingkat pendidikan di masyarakat Karangbinangun dapat diklasifikasikan menjadi :
1)      Tamat SD / MI                 : 41%
2)      Tamat SLTP / MTS          : 24%
3)      Tamat SMU / MA            : 21%
4)      Tamat PT                          : 12%
Mata pencaharian penduduk masyarakat kecamatan Karangbinangun adalah :
1)      Nelayan                : 5%
2)      Petani                   : 75%
3)      Wiraswasta           : 18%
4)      PNS                      : 2%
2.        Karakteristik Responden
1)        Karakteristik Responden
(1)     Kelompok Umur
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 12 responden. Distribusi responden berdasarkan umur dikelompokkan per 10 tahun, seperti pada gambar diagram dibawah ini




Gambar 4.1       Diagram Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November Tahun 2009
Dari Gambar 4.1 dapat dijelaskan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien Diabetes Mellitus tipe II berumur 30-40 tahun yaitu sebanyak 41% atau 5 orang dan sebagian kecil  penderita Diabetes Mellitus tipe II (17%) atau 2 orang yaitu pada kelompok usia 50-59 dan lebih dari 60 tahun.
(2)     Kelompok Jenis Kelamin
Data responden berdasarkan kelompok jenis kelamin disajikan dalam bentuk diagram ini:


Gambar 4.2       Diagram Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan Nopember Tahun 2009
Dari Gambar 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa dari 12 responden hampir seluruh pasien Diabetes Mellitus tipe II berjenis kelamin Laki-laki yaitu sebesar 67% atau 8 orang dan hampir setengah berjenis pasien Diabetes Mellitus tipe II kelamin Perempuan yaitu sebanyak 33% atau 4 orang.
(3)     Kelompok pekerjaan
Data responden berdasarkan pekerjaan disajikan dalam bentuk gambar diagram di bawah ini




Gambar 4.3       Diagram Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan Nopember Tahun 2009
Beradsarkan gambar 4.3 dapat disimpulkan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II tidak bekerja yaitu 33% atau 4 orang, dan sebagian kecil pasien diabetes mellitus tipe II bekerja Swasta yaitu sebesar 17% atau 2 orang.





4.1.2        Data Khusus

1.        Distribusi responden berdasarkan keadaan Obesitas pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Obesitas pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Bulan Nopember Tahun 2009
No
Obesitas
Jumlah
Prosentase
1
Tidak obesitas
4
33,33%
2
Beresiko obesitas
3
25,00%
3
Obesitas 1
4
33,33%
4
Obesitas 2
1
8,33%
Total
12
100%
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas yaitu sebesar 33,33%, dan sebagian kecil pasien dibetes mellitus tipe II mengalami obesitas 2 yaitu sebesar 8,33%.
2.        Distribusi responden berdasarkan tingkat stress pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stress pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Bulan Nopember Tahun 2009
No
Tingkat Stress
Jumlah
Prosentase
1
Tidak Stress
1
8.33%
2
Stress Ringan
5
41.67%
3
Sress sedang
4
33.33%
4
Stress Berat
2
16.67%
Total
12
100.00%

Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami stress ringan yaitu 41,67% atau 5 orang, dan sebagian kecil pasien diabetes mellitus tipe II tidak mengalami stress yaitu sebesar 8,33% yaitu 1 orang. Dan seluruh pasien diabetes mellitus tipe II memilih pernyataan nomor 4 yaitu mengalami penyakit atau tersinggung.
3.        Distribusi responden berdasarkan Kadar Gula Darah Acak (GDA)
Tabel 4.3  Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Gula Darah Acak (GDA) di Puskesmas Karangbinangun  Lamongan Bulan Nopember Tahun 2009
No
GDA
Jumlah
Prosentase
1
Rendah
0
0%
2
Sedang
3
25%
3
Tinggi
9
75%
Total
12
100%
Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 12 responden sebagian besar mempunyai gula darah acak tinggi yaitu sebanyak 75% atau 9 orang dan sebagian kecil GDA sedang yaitu 25% atau 3 orang.
4.        Tabulasi silang berdasarkan hubungan Obesitas dengan GDA pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
Tabel 4.4 Tabel silang Obesitas dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
GDA
Obesitas
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Tidak Obesitas
0
3
1
4
0%
75%
25%
100%
Beresiko obesitas
0
0
3
3
0%
0%
100%
100%
Obesitas 1
0
0
4
4
0%
0%
100%
100%
Obesitas 2
0
0
1
1
0%
0%
100%
100%
Total
0
3
9
12
0%
25%
75%
100%
rs = 0,620                                p = 0,032

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan data bahwa sebagian besar responden  yang tidak obesitas adalah dengan GDA sedang yaitu sebesar 3 orang (75%), responden yang beresiko obesitas seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 3 orang (100%), responden yang mengalami obesitas 1 seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 4 orang (100%) dan responden yang mengalami obesitas 2 seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 1 orang (100%). Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan bahwa ada korelasi nilai sebesar 0,699 dengan signifikansi sebesar 0.011 (p < 0,05). Dengan demikian dapat simpulkan bahwa H1 diterima artinya terdapat hubungan antara obesitas dan kadar gula darah acak pada pasien diabetes mellitus, semakin tinggi tingkat obesitas seseorang semakin tinggi kadar gula darah acak orang tersebut.
5.        Tabulasi silang berdasarkan hubungan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
Tabel 4.5 Tabulasi silang dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
GDA
Stress 
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Tidak stress
0
1
0
1
0%
100%
0%
100%
Stress ringan
0
2
3
5
0%
40%
60%
100%
Stress sedang
0
0
4
4
0%
0%
100%
100%
Stress berat
0
0
2
2
0%
0%
100%
100%
Total
0
3
9
12
0%
25%
75%
100%
rs = 0,620        p = 0,032

Berdasarkan tabel 4.5 responden yang tidak stress seluruhnya adalah dengan kadar GDA sedang yaitu 1  (100%), yang mengalami stress ringan sebagian besar adalah dengan GDA tinggi yaitu 3 (60%), yang mengalami stress sedang seluruhnya adalah dengan GDA tinggi yaitu 4 (100%) dan responden yang stress berat seluruhnya adalah dengan GDA tinggi yaitu 2 (100%). Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan ada korelasi nilai sebesar 0,620 dengan signifikansi sebesar 0.032 (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 diterima artinya terdapat hubungan antara stress dengan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe II, semakin tinggi tingkat stress maka semekin tinggi kadar glukosa orang tersebut.

4.2    Pembahasan

4.2.1        Obesitas

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas yaitu sebesar 33,33%. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi obesitas yaitu aktivitas, karena berdasarkan data karakteristik reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa 33,3% adalah tidak bekerja.
Menurut Zainun Mutadin (2002) tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting.
Dari hasil penelitian tersebut dapat ditafsirkan bahwa aktivitas memang berpengaruh terhadap obesitas. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka semakin rendah resiko terjadi obesitas, dan sebaliknya semakin sedikit tingkat aktivitas seseorang semakin tinggi resiko terjadinya obesitas. Meskipun demikian responden yang bekerja juga banyak yang mengalami obesitas, hal tersebut dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor lainnya, seperti lingkungan sekitar yang saat ini bergaya kebarat-baratan dengan segala macam kenikmatan tanpa harus banyak mengeluarkan tenaga, itu juga mempengaruhi tingkat obesitas seseorang. Faktor ekonomi juga berpengaruh, semakin tinggi tingkat kemakmuran seseorang semakin mudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan, maka semakin rendah juga aktivitas yang dilakukan sehingga angka obesitas meningkat pula.

4.2.2        Stress

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami stress ringan yaitu 5 (41,67%). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi perkawinan, masalah orang tua, hubungan interpersonal (Antarpribadi), pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau cidera dan faktor keluarga.
Masalah pekerjaan merupakan sumber  stress kedua setelah masalah perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK) dan lain sebagainya (Iyus Yosep, 2007).
Berdasarkan data karakteristik reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa 33,3% adalah tidak bekerja. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi tingkat stress. Dalam hasil penelitian ini data tentang status pekerjaan dibagi secara terpisah-pisah, sehingga yang nanpak tertinggi adalah yang tidak bekerja, padahal jika jenis pekerjaan dibagi antara tidak bekerja dengan bekerja, maka sebagian besar adalah bekerja. Selain itu masih banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas, sehingga faktor pekerjaan menjadi samar. Ketika seseorang bekerja maka akan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya, semakin tinggi tanggung jawab seseorang maka semakin banyak pula beban yang harus dipikirkannya, sehingga tidak jarang terjadi stress bila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Tetapi bila seseorang tidak bekerja maka banyak  juga hal yang dipikirkannya, termasuk perekonomian keluarga dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut akan menimbulkan keadaan stress.
Sesuai dengan karateristik data berdasarkan usia, didapatkan bahwa 41% adalah kelompok usia 30-39. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa hampir setengah dari responden yang terbanyak adalah kelompok usia 30-39, tetapi jika dilihat menurut proporsi tingkat stressnya, maka kebanyakan kelompok usia 30-39 mengalami stress ringan sedangkan stress tingkat sedang dan berat adalah kelompok usia 40-49 dan diatas 60 tahun.
Perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan terutama pada mereka yang mengalami menopause dan usia lanjut (Iyus Yosep, 2007). Sedangkan menurut penelitan terbaru, pada umur empat puluh tahun kinerja otak kita mulai menurun. Ini berkaitan dengan selubung mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak. Di atas umur 40, tubuh kita mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui selubung itu, sehinga menyebabkan berbagai gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan (Catshade, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat diartikan bahwa kematangan mempengaruhi tingkat stress seseorang. Dalam alur hidup manusia terdapat masa perkembangan mulai dari dalam kandungan hingga menjadi lansia dan akhirnya meninggal dunia. Dalam tugas perkembangan itu terdapat masalah yang harus dihadapi oleh masing-masing individu dan yang terberat adalah pada usia sekitar 40 tahun dan lanjut usia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perubahan yang terjadi pada masa menopause sehingga banyak orang mengeluh, terutama bagi kaum perempuan yang mengeluh tentang keadaan tubuhnya, selain itu juga usia sekitar 40 tahun terjadi penurunan fungsi berfikir otak. Pada usia lanjut seseorang sudah menyiapkan dirinya untuk meninggal dunia, jadi lansia akan lebih giat beribadah untuk bekal dikehidupan selanjutnya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia takut akan kematian. Stress ternyata memberikan dampak tidak baik terhadap tubuh, stress mengaktifkan system syaraf simpatis yang akan bermuara pada pemecahan glikogen dalam hati, sehingga glukosa darah akan meningkat.
Dari hasil pengisian kuesioner stress yang diserahkan kepada 12 responden di dapatkan hasil bahwa seluruh responden mengalami penyakit atau tersinggung yaitu 100% atau 12 responden.
Sumber stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini antara lain penyakit, kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini penyakit  yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker dan sebagainya (Iyus Yosep, 2007).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit yang diderita seseorang dapat menjadi sumber stress, hal ini dapat disebabkan oleh tingkat pemahaman tetang penyakit, sehingga orang yang menderita penyakit menjadi takut dan akhirnya timbul stress. Penyakit merupakan keadaan yang mengancam nyawa seseorang dan hal itu telah diketahui oleh semua orang, bahwa dalam keadaan normal sebelum seseorang meninggal dunia akan sakit terlebih dahulu kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, kecelakaan dan lain-lain. Untuk itu penyakit sering menjadi sumber stress yang sangat tinggi, apalagi orang yang sedang menderita suatu penyakit itu kurang memahami apa yang dialami dan pengobatannya.

4.2.3        Kadar Gula Darah Acak (GDA)

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes mellitus dengan kadar Gula Darah Acak (GDA) tinggi yaitu sebanyak 9 orang (75%). Dan dari data responden berdasarkan usia hampir setengah dari pasien diabetes mellitus tipe II adalah berusia 30-39 tahun yaitu 5 orang (41%).
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).
Berdasarkan data diatas kelompok usia yang tertinggi adalah usia 30-39 tahun, jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingginya kadar glukosa darah. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor lain yang juga mempengaruhinya. Pergeseran gaya hidup yang berkembang  ke arah dunia barat telah menimbulkan dampak yang sangat besar, dalam hal ini termasuk makanan fast food dan penggunaan teknologi modern yang membuat orang jadi kurang beraktivitas, sedangakan aktivitas dan gaya hidup mempengaruhi keadaan gula darah seseorang.

4.2.4        Hubungan Obesitas dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II.

Berdasarkan hasil pengujian dengan uji Rank Spearman Corelation menunjukkan bahwa antara Obesitas dengan kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabbetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan mempunyai hubungan yang signifikan (bermakna). Selain itu diperkuat dengan korelasi spearman yang menunjukkan bahwa ada korelasi nilai sebesar 0,699 dengan signifikansi sebesar 0.011 (p < 0,05) dengan arah korelasi yang positif. Artinya semakin tinggi tingkat obesitas maka semakin tinggi pula Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II, sebaliknya semakin rendah tingkat obesitas maka semakin rendah pula Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and Suddarth, 2002).
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa terdapat hubungan obesitas dengan kadar gula darah acak. semakin tinggi tingkat obesitas maka semaikn tinggi pula resiko terjadi peningkatan kadar gula darah, sebaliknya semakin rendah tingkat obesitas maka semakin rendah pula kadar gula darah. Tingginya lemak pada pasien diabetes mellitus tipe II menimbulkan resistensi terhadap insulin meningkat, sehingga dibutuhkan lebih banyak lagi insulin untuk memulai proses pembakaran glukosa. Insulin berfungsi sebagai kunci untuk membuka membran sel agar glukosa dalam darah dapat masuk ke dalam sel, jika glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel maka metabolism glukosa tidak terjadi, di lain sisi kadar glukosa darah meningkat yang biasa disebut sebagai keadaan hiperglikemia.

4.2.5        Hubungan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II.

Berdasarkan hasil pengujian dengan uji Rank Spearman Corelation menunjukkan bahwa antara Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabbetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan mempunyai hubungan yang signifikan (bermakna). Selain itu diperkuat dengan korelasi spearman yang menunjukkan bahwa ada korelasi nilai sebesar 0,620 dengan signifikansi sebesar 0.032 (p < 0,05) dengan arah korelasi yang positif. Artinya semakin tinggi tingkat Stress maka semakin tinggi pula Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II, sebaliknya semakin rendah tingkat Stress maka semakin rendah pula Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin  untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007). Sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight) sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi. Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas saluran pencernaan dan sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).
Berdasarkan perhitungan dan data diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara stress dengan kadar gula darah acak pada pasien diabetes mellitus tipe II. Semakin tinggi tingkat stress seseorang maka semakin tinggi pula kadar gula darah seseorang, sebaliknya semakin rendah tingkat stress seseorang maka semakin rendah pula kadar gula dapahnya. Hal tersebut dikarenakan pada orang stress terjadi pengaktifan system syaraf simpatis dan menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi dalam tubuh, salah satunya adalah terjadinya proses glukoneogenesis yaitu pemecahan glukagon menjadi glukosa ke dalam darah. Sehingga glukosa darah meningkat, pada orang yang normal hal itu tidak menjadi masalah namun bagi orang yang sudah menderita penyakit diabetes mellitus tentu akan menimbulkan dampak yang kurang diinginkan.


BAB 5

PENUTUP

Pada bab ini akan disajikan kesimpulan dan saran hasil penelitian mengenai ”Hubungan Obesitas Dan Stress Dengan Kadar Gula Darah Acak Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinagun Lamongan”.

5.1         Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Karangbinangun Lamongan pada bulan November 2009. Sampel pada penelitian ini adalah pasien Diabetes Mellitus tipe II yang berjumlah 12 orang didapatkan hasil sebagai berikut :
1.        Hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas.
2.        Hampir setengah  pasien diabetes mellitus tipe II mengalami stress ringan.
3.        Sebagian besar pasien diabetes mellitus tipe II memiliki kadar gula darah tinggi dan sebagian kecil kadar gula darah sedang.
4.        Terdapat hubungan antara obesitas dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II (p = 0,011).
5.        Terdapat hubungan antara stress dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II (p = 0,032).


5.2         Saran

Dengan melihat hasil kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran dari penulis yakni sebagai berikut :

5.2.1        Teoritis

1.        Profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes mellitus tipe II, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan terhadap profesi keperawatan.
2.        Pihak akademik
Dan bagi pihak akademik dapat dijadikan sebagai acuhan dan bahan untuk penelitian berikutnya.

5.2.2        Praktis

1.        Masyarakat
Saran bagi masyarakat yaitu diharapkan penderita diabetes mellitus lebih dapat mengontrol perilakunya makan, rajin berolah raga dan menghindari stress. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat mengantisipasi gejala penyakit diabetes mellitus ini lebih dini.
2.        Pihak Puskesmas
Sedangkan untuk pihak puskesmas hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II yang meliputi skrening awal masyarakat untuk pemberantasan penyakit tidak menular dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit Diabetes mellitus dan sering mengadakan acara agar masyarakat beraktivitas, misalnya jalan sehat, senam masal dan lain sebagainya.







Abdul Quddus. (2006). Diabetes Mellitus Faktor Keturunan Bisa Dihindari?. http://www.mediasehat.com. diakses tanggal 17 Agustus 2009

Arief. (2008). Diabetes Melitus ? Apa sih ?. http://drarief.com/ diakses tanggal 29 Oktober 2009

Artanto. (2002). Kumpulan Artikel Keperawatan Diabetes Mellitus. dalam situs http://www.artanto.com dikses tanggal 4 september 2009

Aru W Sudoyo. (2006). Ilmu Penyakit Dalam vol 3. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD Fakultas Kedokteran Umum Indonesia

Ayu Bulan Febry Kurnia Dewi. (2009). Menu Sehat 30 Hari untuk Mencegah dan Mengatasi Diabetes Mellitus. http://agromedia.net/ diakses tanggal 30 Oktober 2009

Brruner and Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta : EGC

Catshade. (2009). Umur 40: Saat Otak Anda Mulai ‘Telmi’ dan Menua. http://persepsi.wordpress.com diakses tanggal 04 Desember 2009

Dahlia Irawati . (2008).  Indonesia Peringkat Empat Dunia Pasien Diabetes. www.kompas.com diakses tanggal 31 Agustus 2008

Dhania. (2009). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Tentang Diabetes Mellitus Terhadap Kontrol Diri Pada Pasien Rawat Jalan Penderita Diabetes Mellitus. http://one.indoskripsi.com /node /9601 diakses tanggal 2 juni 2009

Edy Suparman. (2003). Diabetes Mellitus Dalam Kehamilan. www.kalbe.co.id dikses tanggal 20 Agustus 2009
     
Febrianto. (2008). Melihat Aktivitas Pengidap Diabetes Mellitus di Lamongan. www.jawapos.com tanggal 31 Agustus 2008

Faiz Akhadiyat Trisnawati. (2009). Diabetes mellitus keturunan. http://fazzapples.blogspot.com diakses tanggal 29 Oktober 2009

Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dan Mekanisme Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC

Haris Fadilah 2005. (2005). Diabetes Melitus Ancam Produktifitas. http://kbi.gemari.or.id diakses tanggal 29 Oktober 2009


Herman. (2009). Penyakit akibat gaya hidup. http://yuwie.com/ diakses tanggal 30 Oktober 2009

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika

Hikmat Permana. (2009). Pengelolaan Hipertensi Pada Diabetes Mellitus Tipe 2
http://pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal  29 Oktober 2009

Jhon MF Adam. (2000). Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang Baru. http://www.kalbe.co.id/files diakses tanggal 15 Agustus 2009 pukul 21.01 WIB

Nur dan Ayi. 2008. DM Tertinggi, Tren Narkoba Naik. www.JawaPos.go.id tanggal 22 November 2008

National Safety Council. (2004). Manajemen Stress. Jakarta : EGC

Niven, Neil. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC

Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : PT Salemba Medika

Olson, James. (2003). Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta : EGC

Potter and Perry. (2005).  Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi Vol 2. Jakarta : EGC

Robbin. (2007). Buku Ajar Patologi vol 2. Jakarta : EGC

Rudolph, Abraham M. (2006). Buku Ajar Pediatri Vol 1. Jakarta : EGC

Sidartawan Soegondo. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Soekidjo Notoatmojo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik; cet. 13. Jakarta : PT Rineka Cipta

Suharsimi Arikunto. (1998). Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : PT Rineka Cipta

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

WHO1. (2009). Diabetes. http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en diakses tanggal 15 Agustus 2009

WHO2. (2009). Obesity. http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en diakses tanggal 15 Agustus 2009

Wardati. (2006). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Diabetes Mellitus Tipe II pada pasien di RSU Tidar Magelang. www.pusatdatajurnaldanskripsi.com diakses tanggal 2 juli 2009

Wasis. (2008). Pedoman Risert Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta : EGC

Iyus Yosep. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Aditama

Zainun Mutadin. (2002). Obesitas dan Faktor Penyebab. http://www.e-psikologi.com diakses  tanggal 08 September 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar