BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan
dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, maka
semakin banyak pula penyakit infeksi dan menular yang mampu diteliti dan
diatasi. Namun tidak demikian dengan penyakit-penyakit degeneratif, penyakit
degeneratif sudah ada
di negara-negara besar seperti Amerika serikat, negara Eropa, Rusia atau Jepang
dan sekarang telah merambah ke negara yang sedang berkembang di dunia
termasuk India, Afrika dan Indonesia.
Adapun penyakit degeneratif contohnya Diabetes Mellitus (DM), Diabetes mellitus
(DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak ditularkan dan sering ditemukan
di masyarakat seluruh dunia
(Hikmat
Permana, 2009).
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan dalam Haris Fadilah 2005, penyakit DM sangat mengancam produktifitas seseorang sehingga penyakit ini perlu diantisipasi sejak dini sehingga tidak menjadi penyakit yang kronis. Namun beberapa penelitian terakhir disebutkan bahwa setiap tahunnya penderita diabetes mellitus bukannya semakin berkurang justru semakin meningkat saja, jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 200 juta jiwa. Kemungkinan ini disebabkan oleh semakin banyaknya penderita obesitas dunia, ditambah lagi dengan tingkat stress yang cenderung semakin tinggi karena peralihan ke pekerjaan kantoran. Diprediksi angka tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020 (Dahlia Irawati, 2008).
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan dalam Haris Fadilah 2005, penyakit DM sangat mengancam produktifitas seseorang sehingga penyakit ini perlu diantisipasi sejak dini sehingga tidak menjadi penyakit yang kronis. Namun beberapa penelitian terakhir disebutkan bahwa setiap tahunnya penderita diabetes mellitus bukannya semakin berkurang justru semakin meningkat saja, jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 200 juta jiwa. Kemungkinan ini disebabkan oleh semakin banyaknya penderita obesitas dunia, ditambah lagi dengan tingkat stress yang cenderung semakin tinggi karena peralihan ke pekerjaan kantoran. Diprediksi angka tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020 (Dahlia Irawati, 2008).
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini
dilakukan di Indonesia kekerapan diabetes mellitus adalah berkisar antara 1,4 –
1,6% (Aru W Sudoyo, 2006). Sedangkan penderita
diabetes melitus (DM) di wilayah Surabaya terus meningkat, bisa dikatakan
pengidap DM saat ini mencapai 180.000 orang yaitu 6% dari masyarakat daerah
itu. Berdasar data yang dihimpun di RSU
dr Soetomo, RSUD dr Soewandhie, RSU Haji, dan RS Al-Irsyad, angka penderita DM
dalam dua tahun terakhir meningkat. Di instalasi rawat jalan RSU dr Sotemo,
misalnya, jumlah kunjungan pasien DM sampai Oktober 2008 menempati posisi ketiga
di antara 40 poli yang ada jumlahnya
adalah 25.435 orang. Jumlah
penderita DM hanya kalah dari pasien di poli jantung 31.272 pasien dan onkologi
30.055 pasien (Nur dan Ayi,
2008).
Menurut
Syaifudin dalam Febrianto
2008, sekitar 200.000 atau 12 persen dari penduduk Lamongan diduga terkena
penyakit DM (penyakit gula). Dan saat ini penyakit itu masuk golongan penyebab
kematian terbesar. Berdasarkan
study pendahuluan yang dilakukan peneliti pada instansi puskesmas
Karangbinangun kabupaten Lamongan pada bulan Juni 2009, didapatkan bahwa
diabetes mellitus pada tahun 2007 adalah 134 orang sedangkan pada tahun 2008
adalah sebesar 214 orang, jadi terdapat peningkatan sebesar 27,2% atau 80
kasus baru diabetes mellitus. Jumlah
kunjungan setiap bulannya adalah sekitar 30 orang, pada kasus baru sekitar 7
orang dan kasus lama 18 orang. Maka masalah penelitian ini adalah peningkatan
kejadian Diabetes Mellitus.
Menurut
Wardati (2006) menyatakan banyak
faktor yang diduga menjadi
timbulnya Diabetes
Mellitus, diantarannya adalah faktor keturunan, lanjut usia, kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial
ekonomi, status rural urban dan kelainan ginekologis. Faktor yang pertama adalah faktor keturunan, menurut
penelitian diabetes mellitus merupakan penyakit keturunan, jika orang tua
mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40 % resiko terkena penyakit
ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009)
Faktor ke dua adalah lanjut usia , Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya
umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada
lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat,
disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin
dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit
diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun
ke atas (Arief, 2008).
Faktor ke tiga yaitu nutrisi, Menurut Ayu Bulan FKD
(2009) bahwa “Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
prevalensinya kian meningkat. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan pola
makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori dan karbohidrat
yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut”.
Faktor yang ke empat adalah faktor ekonomi. Semakin
tinggi status ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan
sesuatu yang diinginkannya, hal ini akan
minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai, lama
kelamaan akan timbul obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes
tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan
akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).
Status rural urban adalah faktor selanjutnya. Cara
hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan
kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja, menyebabkan
tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia
memang terdapat peningkatan (Herman, 2009).
Dari semua faktor resiko diabetes mellitus ada dua
faktor yang dominan yaitu obesitas dan stress. Obesitas adalah salah satu
faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam pathogenesis diabetes
mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik dalam
hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang
ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya
terjadi peningkatan glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan
dengan obesitas (Brunner and Suddarth, 2002).
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah
karena stress menstimulus organ endokrin
untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat
kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga
akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit
(Guyton and Hall, 2007). Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah pada saat stress atau tegang. Mengingat
penyakit ini hanya dapat dikendalikan
saja tanpa bisa
diobati dan komplikasi yang ditimbulkan juga sangat besar seperti penyakit
jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf
(Dhania, 2009).
Dari
faktor tersebut yang dapat dilakukan pembenahan adalah faktor yang dapat
diubah. Faktor-faktor yang dapat diubah adalah meliputi obesitas, diet nutrisi,
aktivitas, asupan lemak, merokok
dan minum alkohol, ketegangan(stress)
dan tingkat sosial ekonomi. Upaya pembenahan meliputi perubahan terhadap faktor
yang disebutkan di atas yaitu mengontrol berat badan agar tidak terjadi obesitas,
diet nutrisi yang sehat dan tidak berlebihan, melakukan aktivitas yang
bermanfaat terutama olah raga, membatasi makanan yang mengandung banyak lemak,
tidak merokok dan minum alkohol, meminimalkan stress atau ketegangan yang ada
dipikiran dan tidak meniru gaya hidup kebarat-baratan. Kebanyakan pasien
diabetes mellitus memiliki tubuh yang kurang proporsional dalam arti gemuk atau
obesitas, hal ini senada dengan pernyataan “DM tipe II paling sering ditemukan
pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas” (Brunner and
Suddarth, 2002) selain itu penyakit DM lebih banyak ditemukan pada orang yang
memiliki pekerjaan diam dan berfikir, selain tingkat aktivitas yang rendah
tingkat stress yang tinggi juga berpengaruh.
Untuk
itu penulis tertarik dan ingin
melakukan penelitian yang berkaitan dengan “Hubungan Obesitas dan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien
Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas
Karangbinangun”.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
tingkat obesitas pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun
Lamongan.
2.
Bagaimana
tingkat stress pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun
Lamongan.
3.
Bagaimana kadar
Gula Darah Acak pasien diabetes mellitus tipe II di puskesmas Karangbinangun
Lamongan.
4.
Adakah hubungan Obesitas dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten
Lamongan.
5.
Adakah hubungan Stress dengan Gula Darah Acak
pada pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten
Lamongan.
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan umum :
Tujuan umum dari penelitian ini
adalah menganalisis hubungan obesitas dan stress dengan kadar glukosa darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Puskesmas
Karang Binangun Kabupaten Lamongan
1.3.2
Tujuan khusus :
1. Mengidentifikasi
tingkat obesitas pada penderita Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten
Lamongan.
2. Mengidentifikasi
tingkat stress pada orang yang mengalami Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten
Lamongan.
3. Mengidentifikasi kadar glukosa darah acak pasien
diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.
4. Menganalisis hubungan obesitas dengan kadar
glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karang
Binangun Kabupaten Lamongan.
5. Menganalisis hubungan stress dengan kadar
glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Karang
Binangun Kabupaten Lamongan.
1.4 Manfaat
1.4.1
Manfaat
Teoritis
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang diabetes
mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung teori yang sudah ada.
2.
Akademik
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang diabetes
mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung teori yang sudah ada.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna, khususnya bagi
:
1. Pihak
Puskesmas
Jika
tingkat pengetahuan tentang diabetes mellitus pada penderita diabetes mellitus
rendah, pihak Puskesmas atau
dokter dapat memberikan atau melakukan sosialisasi kepada pasien, keluarga dan
masyarakat mengenai segala sesuatu tentang diabetes mellitus. Dan dapat menurunkan faktor
resiko diabetes mellitus sehingga diharapkan
angka kejadian diabetes mellitus tidak meningkat tajam.
2. Masyarakat
Dengan
pengetahuan tentang faktor resiko diharapkan penderita diabetes mellitus lebih
dapat mengontrol perilakunya, dan dapat terhindar dari terjadinya
komplikasi-komplikasi lebih lanjut. Selain itu, juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat mengantisipasi
gejala penyakit diabetes mellitus ini lebih dini.
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Konsep
Diabetes Mellitus
Tipe II
2.1.1 Pengertian
Diabetes Mellitus adalah
gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price and Wilson, 2005).
Diabetes mellitus adalah
gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Robbin, 2007).
Diabetes merupakan penyakit
kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup, atau
jika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diperbuatnya
(WHO1, 2009).
Diabetes mellitus tipe II
yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin (Brunner and Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap
insulin atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes mellitus tipe
II merupakan jenis diabetes mellitus yang paling sering dijumpai, diperkirakan
sekitar 90% dari semua penderita diabetes mellitus dan penderita diabetes yang
ada di indonesia (Jhon MF Adam, 2000). Penderita penyakit diabetes mellitus
tipe II lebih banyak menyerang seseorang di atas usia 30 tahun (Brunner and
Suddarth, 2002).
2.1.2
Etiologi
1.
Diabetes
Mellitus tipe II
Menurut Wardati (2006)
faktor resiko terjadinya diabetes mellitus meliputi faktor keturunan, lanjut
usia , kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi,
status rural urban dan kelainan genekologis.
1)
Keturunan /
riwayat keluarga
Menurut penelitian yang telah dilakukan, penyakit diabetes mellitus
merupakan penyakit keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak
telah mempunyai 40% resiko terkena penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009).
2)
Usia lajut
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka
intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut
usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat,
disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin
dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat
dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008)
3)
Obesitas
Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting
dalam pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki
peran yang kurang baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh
tubuh, sehingga glukosa yang ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme
dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah,
memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and Suddarth,
2002).
4)
Stress
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress
menstimulus organ endokrin untuk
mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin
mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga
akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit
(Guyton and Hall, 2007).
Sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight) sistem ini
meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi.
Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas
saluran pencernaan dan sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).
5)
Diet nutrisi
Menurut Ayu Bulan FKD (2009) dijelaskan bahwa Diabetes mellitus
merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya semakin meningkat.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula
dalam darah akibat asupan kalori dan karbohidrat yang berlebih merupakan
penyebab utama penyakit tersebut.
6)
Ekonomi
Hal ini berkaitan dengan gaya hidup, semakin tinggi status ekonomi dari
seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya akan
dimilikinya, hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga
glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh hati menjadi glikogen atau disimpan
di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul obesitas dan akhirnya
terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang
yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend
penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).
7)
Status urban
Cara hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga
sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja,
menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Apalagi
hapir setiap hari harus lunch dan dinner dengan para mitranya, makanan
yang dimakan adalah makanan barat yang aduhai. Pola hidup beresiko inilah yang
menyebabkan tingginya kekerapan penyakit PJK, diabetes mellitus dan lainnya.
Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat
peningkatan (Herman, 2009).
8)
Kelainan
genekologis
Beberapa kelainan genekologis juga dapat memperparah atau bahkan
menyebabkan penyakit diabetes mellitus ini (Brunner and Suddarth, 2002).
2.1.3
Patogenesis
Menurut Robbin,
2007 perjalanan normal tubuh dan penyakit diabetes mellitus adalah sebagai
berikut :
1.
Fisiologi Insulin Normal
Gen insulin yang
diekskresikan pada sel beta pankreas, disimpan dalam granula sebelum diekskresikan. Pengeluaran dari sel beta berlangsung dalam suatu proses
yang melibatkan dua simpanan insulin. Peningkatan kadar glukosa darah mendorong
pelepasan insulin, yang diperkirakan dari simpanan pada granula sel beta.
Insulin adalah hormon
anabolik utama, insulin diperlukan untuk (1) Pengangkutan glukosa dan asam
amino melewati membran, (2) Pembentukan glikogen dalam hati dan otot rangka,
(3) Perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4) Sintesis asam nukleat, dan (5)
Sintesis protein. Fungsi metabolik utamanya adalah meningkatkan laju pemasukan
glukosa ke dalam sel tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot berserat
lintang, termasuk sel miokardium, fibroblast dan sel lemak, yang secara
kolektif mewakili sekitar dua per tiga dari seluruh berat badan tubuh.
Insulin berinteraksi dengan
sel sasarannya mula-mula berikatan dengan reseptor insulin, jumlah dan fungsi
dari reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja insulin. Reseptor insulin
adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah respon intrasel yang mengarah
jalur metabolisme. Salah satu respon dini yang penting adalah terhadap insulin
adalah translokasi glucose transport unit
(GLUTs, yang memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dan aparatus golgi ke
membran plasma, yang mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu,
hasil akhir utama kerja insulin adalah membersihkan glukosa dari sirkulasi.
Gambaran terpenting dari
penyakit diabetes mellitus adalah gangguan toleransi glukosa. Hal ini dapat
terungkap dengan uji coba toleransi glukosa oral yang memeriksakan kadar
glukosa darah setelah puasa semalam, dan kemudian beberapa menit sampai jam
setelah pemberian glukosa per oral. Pada orang normal, kadar glukosa darah
hanya sedikit meningkat, dan respon insulin oleh pankreas berlangsung cepat
yang memastikan pulihnya kadar ke tingkat normoglikemik
dalam satu jam. Pada pengidap diabetes dan pada mereka yang berada dalam
stadium praklinik, glukosa darah meningkat ke kadar yang terlalu tinggi secara
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi akibat kekurangan mutlak insulin yang
dikeluarkan dari pankreas atau akibat gangguan respon jaringan sasaran terhadap
insulin, atau keduanya.
Saat ini kreteria berikut
digunakan untuk diagnose laboratorium diabetes mellitus.
1)
Konsentrasi
glukosa plasma vena puasa (semalam) 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu
kali pemeriksaan
2)
Gejala klinis
diabetes dan kadar glukosa sewaktu 200 mg / dL atau lebih
3)
Setelah ingesti
75 gr glukosa, konsentrasi glukosa vena 2 jam 200 mg / dL atau lebih.
2.
Patogenesis
Diabetes Mellitus Tipe II
Patogenesis dari diabetes
mellitus tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan yang
tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya
hidup tentu berperan dalam hal ini terutama obesitas dan stress. Dua defek
metabolik yang menandai diabetes mellitus tipe 2 adalah gangguan sekresi
insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespon terhadap
insulin (Resistensi insulin).
1)
Gangguan sekresi
insulin pada sel beta
Pada kenyataannya, pada awal perjalanan penyakit kadar
insulin bahkan mungkin meningkat untuk mengkompensasi insulin. Begitu juga
dengan sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak
berkurang. Fase pertama sekresi insulin (yang cepat) akan mengakibatkan glukosa
menurun.
Namun pada perjalanan berikutnya terjadi defisiensi
absolut insulin yang ringan hingga sedang. Penyebabnya defesiensi insulin pada
diabetes mellitus tipe 2 ini masih belum jelas, data mengenai hewan percobaan
dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi sinsulin menyebabkan
peningkatan masa dan produksi insulinnya. Lambat laun akan terjadi kehilangan
sel beta 20% hingga 50% karena keadaan diatas, tetapi jumlah ini masih belum
menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh gukosa. Hal
ini tampaknya akan menyebabkan gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
2)
Resistensi
insulin dan obesitas
Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin
merupakan faktor utama dalam timbulnya diabets mellitus tipe 2. Sejak
permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena komplek
yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan
sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun (meskipun tidak terdapat
diabetes), dan kadar insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi
resistensi insulin tersebut. Dasar seluler dan molekular belum sepenuhnya
dimengerti.
Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin : jaringan
lemak dan otot; dikedua jaringan tersebut insulin meningkatkan penyerapan
glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi glukosa. Insulin bekerja
pada sasaran pertama-tama dengan berikatan pada reseptornya. Pengaktifan
reseptor insulin memicu serangkaian respon intrasel yang mempengaruhi jalur
metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel
yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat
terjadi di tingkat reseptor insulin atau salah satu pasca reseptor yang
diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya.
2.1.4
Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus
Manifestasi klinis dari
penyakit diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defesiensi
insulin. Pasien-pasien dengan dengan defesiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah
makan karbohidrat. Tanda dan gejala fisik yang muncul sebagai manifestasi dari
hiperglikemi atau defesiensi insulin banyak sekali, tetapi beberapa gejala yang
terkenal yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi
:
1. Poliuri
Glukosuria ini akan mengakibatkan
deurisis osmotik sehingga meningkatkan pengeluaran urin.
2. Polidipsia
Polidipsi adalah rasa haus.
Hal ini disebabkan oleh gejala lain yaitu poliuri atau banyak pengeluaran urin,
sehingga untuk mengkompensasi hal tersebut tubuh akan memberikan sinyal ke otak bahwa homeostasis
tidak stabil, akhirnya rasa haus akan muncul sebagai kompensasi tubuh.
3. Polifagia
Karena glukosa glukosa
hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar mengakibatkan banyak makan
(polifagia).
Manifestasi klinis yang lain
akan muncul juga seperti :
1.
Glukosuria.
Hal ini terjadi ketika kadar glukosa darah mengalami peningkatan yang sangat
tinggi (hiperglikemi) dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka akan
timbul glukosuria atau kencing manis.
2.
Turunnya berat
badan.
3.
Lemah / somnolent
4.
Jika sakit berat
bisa terjadi ketoasidosis dan dapat meninggal bila tidak dilakukan tindakan
segera.
5.
Kesemutan atau
gatal.
6.
Mata kabur.
7.
Disfungsi ereksi
pada laki-laki dan pruritus vulva pada wanita.
Menurut Price and Wilson
(2005), terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
pada umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan diabetes
tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosa
hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium dan melakukan tes
toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
menderita polidipsi, poliuri, lemah dan somnolent.
Biasanya mereka tidak mengalami ketoassidosis karena pasien ini tidak
defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap
disekresi dan masih cukup utnuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia
berat dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar
glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer
terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal
atau malahan tinggi,tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa
darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.
2.1.5
Diagnosis
Secara epidemiologi diabetes
seringkali tidak terdekteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Sehingga morbiditas dan mortalitas
dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Diagnosis diabetes mellitus
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakan
dengan glukosuria saja. Dalam
menentukan diagnosis diabetes mellitus harus diperhatikan asal bahan dasar
darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Walaupun begitu sesuai dengan kondisi setempat
juga dipakai bahan darah utuh (whole
blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan darah oleh WHO (Sidartawan Soegondo,
2004)
Tabel 2.1 Kadar glukosa sewaktu dan puasa
|
||||
Pemeriksaan
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
|
Kadar gula darah
|
Plasma vena
|
<110
|
110-199
|
≥200
|
Sewaktu (mg/dl)
|
Darah kapiler
|
<90
|
90-199
|
≥200
|
Kadar gula darah
|
Plasma vena
|
<110
|
110-125
|
≥126
|
Puasa (mg/dl)
|
Darah kapiler
|
<90
|
90-109
|
≥110
|
(Aru W Sudoyo, 2007)
Untuk kelompok tanpa keluhan
khas DM. hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal
belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa ≥126 mg/dl pada hari yang lain, kadar gula sewaktu ≥200
mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi guloksa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200. Berikut ini adalah cara
penatalaksanaan pemeriksaan TTGO :
1.
Tiga hari
sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani
seperti yang biasa dilakukan.
2.
Puasa paling
sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan.
3.
Diperiksa kadar
glukosa darah puasa.
4.
Diberikan
glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75 gr/kkBB (anak-anak), dilarutkan dalam
air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
5.
Diperiksa kadar
glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
6.
Selama proses
pemeriksaan subyek yang siperiksa tetapistirahat dan tidak merokok.
Selain pemeriksaan kadar
glukosa di atas, terdapat diagnosis dan klasifikasi yang lain yaitu Indeks
Tambahan. Indeks tambahan dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1.
Indeks penentuan
derajat kerusakan sel beta
Hal ini dapat dilakukan
dengan melkaukan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin dan sekresi peptida
penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated hemoglobin” (WHO memakai
istilah “Glyclated hemoglobin”),
nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi
glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
2.
Indeks proses
diabetogenik
Untuk penilaian proses
diabetogenik pada saat ini telah dilakukan penentuan tipe dan sub tipe HLA,
adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau
langerhand (islet cell antibodies), anti GAD (glutamic acid decarboxylase) dan
sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas ditemukan
susunan DNA spesifik pada genom manusia dan ditemukannya penyakit lain pada
pankreas dan penyakit endokrin lainnya.
2.1.6
Pengobatan
Tujuan utama terapi diabetes
mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah
dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskular serta neuropati.
Tujuan terapi pada setiap tipe adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya
hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Secara garis besar
penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus ada 2 yaitu terapi farmakologis dan
terapi non farmakologis. Terapi farmakologis adalah terapi dengan menggunakan
obat atau insulin. Sedangkan terapi non farmakologis terapi tanpa menggunakan
obat-obatan, seperti diet nutrisi, latihan, pemantauan dan penyululan atau
pendidikan.
1.
Diet
Prinsip umum diet dan
pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksaan diabetes. Tujuan
terapi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1)
Memberikan semua
unsur makanan esensial (vitamin, mineral).
2)
Mencapai dan
mempertahankan berat badan yang sesuai.
3)
Memenuhi
kebutuhan energi.
4)
Mencegah
fluktasi kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan
praktis.
5)
Menurunkan kadar
lemak darah jika kadar ini meningkat.
Standar yang dianjurkan oleh
Sidartawan Soegondo adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai
berikut : Karbohidrat (60 – 70%); Protein (10 – 15 %); Lemak (20 – 25 %).
Sedangkan menurut Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Diabetik Amerika
merekomendasikan bahwa semua asupan kalori, 50 – 60 % kalori berasal dari
karbohidrat, 20 – 30 % dari lemak dan 12 – 20% lainnya protein. Rekomendasi ini
juga konsisten dengan rekomendasi Assosiate
Cancer Sosiety dan The American
Hearth Assosiation.
2.
Latihan
Pada klien dengan penyakit
diabetes mellitus dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani secara teratur (3
– 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sedapat mungkin mencapai zona
sasaran 75 -85% denyut jantung maksimal (220-umur), disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
3.
Pemantauan
Pemantauan ini ditujukan
untuk pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri. Cara ini memungkinkan
deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam
menentukan kadar glukosa normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi
jangka panjang. Pemeriksaan ini dianjurkan bagi pasien diabetes mellitus dengan
:
1)
Penyakit
diabetes yang tidak stabil.
2)
Kecenderungan
untuk mengalami ketoasidosis berat atau hipoglikemia.
3)
Hipoglikemia tanpa
gejala peringatan
4)
Ambang glukosa
renal yang abnormal.
Frekuensi pemantauan mandiri
glukosa darah dilakukan bagi sebagian besar pasien yang memerlukan insulin,
pemeriksaan kadar glukosa darah sebanyak dua hingga empat kali sehari sebelum
makan dan pada saat akan tidur malam. Bagi pasien dengan insulin sebelum makan,
diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan untuk menentukan dosis yang aman.
Sedangkan untuk klien tanpa insulin dapat memeriksa diri tiga hingga empat kali
seminggu.
Interpretasi hasil pemantauan
mandiri. Klien harus diberi tahu agar menyimpan hasil pemeriksaan gula darah
dalam buku catatan atau log book
sehingga klien dapat mengetahui pola dari kenaikan dan penurunan glukosa
darahnya.
4.
Pendidikan dan
penyuluhan
Dalam beberapa tahun ini telah
terjadi peningkatan program pendidikan dan pelatihan diabetes bagi
pasien-pasien rawat jalan. Informasi yang diberika haruslah menyangkut beberapa
hal ini
1)
Patofisiologi
sederhana yang berisis tentang : definisi diabetes mellitus (dengan kadar
glukosa yang tinggi); batas-batas kadar glukosa yng normal; efek terapi insulin
dan latihan; efek makanan dan stress, yang mencakup keadaan sakit dan infeksi;
dasar pendekatan terapi.
2)
Cara-cara
terapi, meliputi hal – hal sebagai berikut : pemberian insulin; dasar-dasar
diet; dan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine.
3)
Pengenalan,
penanganan dan pencegahan komplikasi akut yaitu : hipoglikemia dan
hiperglikemia.
4)
Informasi yang
pragmatis yaitu : di mana membeli dan menyimpan insulin, semprit, alat-alat untuk
memantau kadar glukosa darah; kapan dan bagaimana cara menghubungi dokter.
5.
Terapi
farmakologis
Sarana pengobatan untuk
penyakit diabetes mellitus terdiri atas dua macam obat, yaitu obat hipoglikemia
oral dan pemberian injeksi insulin.
1)
Obat hipoglikemi
oral
Obat hipoglikemmi oral memiliki dua fungsi, fungsi
yang pertama adalah sebagai pemicu sekresi insulin. Contohnya adalah Sulfonilurea, obat golongan ini sudah
dipakai sejak tahun 1957. Obat golongan
ini memiliki efek menstimulus sel beta pankreas untuk memproduksi insulin yang
tersimpan, oleh karena itu obat ini hanya bermanfaat untuk orang yang masih
memiliki kemampuan untuk mensekresi insulin. Mekanisme kerja dari obat golongan
ini adalah : menstimulus pelepasan insulin yang tersimpan; menurunkan ambang
sekresi insulin; meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa. Contoh obat lainnya adalah “Glinid”,
Glinid merupakan obat generasi baru
yang cara kerjanya sama dengan obat Sulfonilurea.
Fungsi yang
kedua adalah menambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh dari golongan ini
adalah obat Biguanis, Tiazolidindion,
glukosidase alfaobat. Biguanis, obat ini mampu menurunkan kadar glukosa
darah tetapi tidak menyebabkan penurunan sampa dibawah normal. Efek samping
yang tidak diinginkan adalah terjadinya asidosis laktat, meskipun sangat kecil
yaitu 0,01 – 0,08 dari semua pengguan obat ini. Obat baru yang memiliki efek
untuk meningkatkan sensitifitas insulin adalah Tiazolidindion, obat ini diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada
sasaran kelainan yaitu resistensi insulin. Obat penghambat glukosidase alfa obat memiliki efek menghambat kerja dari enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan dapat menurunkan glukosa
postprandial.
2)
Insulin
Secara keseluruhan sebanyak 20 – 25% pasien diabetes
mellitus tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar
glukosa darahnya. Penyerapan insulin yang paling cepat adalah pada daerah
abdomen yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong.
Bila disuntikan secara intramuskular maka penyerapannya akan lebih cepat dan
masa kerjanya akan lebih singkat.
2.1.7
Komplikasi
Terdapat tiga komplikasi
akut pada diabetes mellitus yang penting dan berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut
adalah hipoglikemia, ketosidosis diabetik dan sindrom HHNK / HONK (hiperglikemik hiperosmolar nonketotik /
hiperosmolar nonketotik).
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar
glukosa yang abnormal rendah. Hal ini terjadi bila kadar glukosa turun hingga
50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/l) (Brunner and Suddarth, 2002).
Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas yang
berat. Gejala yang nampak pada kasus hipoglikemia ada tiga macam yaitu :
1)
Hipoglikemia
ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem syaraf simpatik akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah akan menyebabkan gejala seperti
: tremor, takhicardi, palpitasi,
kegelisahan dan lapar.
2)
Hipoglikemia
sedang
Penurunan glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup
bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem
syaraf mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, kofusi,
penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir dan lidah, bicara pelo, gerakan
tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional,
penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.
3)
Hipoglikemia
berat
Fungsi sistem syaraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat sehingga
pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemi yang
dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku disorientasi, serangan kejang,
sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
Penanganan kasus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. Rekomendasi
biasanya berupa pemberian 10 hingga 15 gram gula yang bekerja cepet peroral :
(1)
2 – 4 tablet
glukosa yang dapat dibeli di rumah obat / apotik
(2)
4 – 6 ons sari
buah atau teh yang manis
(3)
6 – 10 butir
permen khusus atau permen manis lainnya
(4)
2 – 3 sendok teh
sirup atau madu
Apabila gejala bertahan lebih dari 10 menit hingga 15 menit sesudah
terapi pendahuluan, ulangi terapi tersebut. Setelah gejala berkurang berikan
makan camilan yang mengandung protein dan pati (seperti cracer dengan keju atau
susu) kecuali jika pasien berencana untuk makan atau makan camilan dalam waktu
30 menit hingga 60 menit menurut jadwal makan. Pasien juga harus diberitahukan
agar tidak mengkonsumsi makanan penutup mulut yang tinggi kalori dan tinggi
lemak (kue-kue kering, tarcis, cakes donat, es krim) utnuk mengatasi
hipoglikemia yang dialaminya. Karena dapat menghambat penyerapan glukosa ke
dalam tubuh.
Pada kasus yang berat pasien tidak sadarkan diri, tidak mampu menelan
atau menolak terapi maka pemberian preparat glukogon 1 mg per intramuskuler
atau subcutan bisa diberikan, tetapi preparat glukagon harus dilarutkan dahulu
dengan pelarutnya.
2. Ketoasidosis
diabetic
Diabetes ketoasidosis
disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang
nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak. Gambaran klinik dari diabetas ketoasidosis adalah : dehidrasi,
kehilangan elektrolit dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah
glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa
oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan
hiperglikemia. Dalam upaya menghilangkan glukosa yang berlebih dalam tubuh
ginjal akan mengekskresikan glukosa melalui air dan elektrolit (Na, K).
Deurisis osmotik di tandai dengan poliuri ini akan menyebabkan dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Penderita diabetes ketoasidosis yang berat dapat
kehilangan kira-kira 6,5 liter air dan sampai 400-500 mEq Na, K serta Cl selama
preode waktu 24 jam. Akibatnya lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan
gliserol. Asam lemak diubah hati menjadi badan keton yang berlebih sebagai
akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya
keadaan itu. Badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
Gejala yang ditimbulkan pada
kasus diabetes ketoasidosis adalah poliuri, polidipsi (haus), penglihatan
kabur, lemah dan sakit kepala. Selain itu dapat juga terjadi hipotensi
ortostatik, denyut nadi lemah dan cepat. Ketosis dan asidosis menimbulkan
gejala gastrointestinal berupa anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen, nafas
berbau keton (bau manis seperti buah), hiperventilasi hingga kussmaul.
Perubahan mental pada ketoasidosis bervariasi. Nilai laboratorium kadar glukosa
darah dapat bervariasi dari 300 – 800 mg/dl, bisa lebih tinggi hingga 1000
mg/dl atau lebih rendah.
Ada penyebab utama diabetes
ketoasidosis yaitu :
1)
Insulin tidak
diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.
2)
Keadaan sakit
atau infeksi.
3)
Manifestasi
pertama dari penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
Terapi yang dilakukan
diarahkan pada perbaikan tiga masalah yaitu :
1)
Dehidrasi
Pada rehidrasi
yang diperlukan sekitar 6 -10 liter cairan infus untuk menghilangkan cairan
yang hilang karena poliuri, hiperventilasi dan muntah
2)
kehilangan
elektrolit
Penggantian
cairan elektrolit ditujukan untuk mengantikan kalium yang hilang.
3)
Asidosis
Asidosis
dapat ditangani dengan pemberian insulin karena insulin memiliki efek untuk
menghambat pemecahan lemak sehingga menggantikan senyawa yang bersifat asam.
3. Hiperglikemik
hiperosmolar nonketotik (HHNK)
Sindrom hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolar
dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Pada saat yang sama
tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini
berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan
diuresis osmotik sehingga kehilangan cairan dan elektrolit, cairan akan
berpindah dari intrasel ke ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi
akan dijumpai hipernatremia dan peningkatan osmolaritas. Perbedaan dengan
diabetes ketoasidosis tidak adanya badan keton yang diproduksi.
Gambaran klinis dari Sindrom
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah hipotensi, dehidrasi berat (membran
mukosa kering, turgor kulit jelek), takhikardi, dan gejala neurologis yang
bervariasi (perubahan sensori, kejang-kejang, hemiparesis). Keadaan ini makin
serius dengan angka mortalitas yang sekitar 5% - 30% dan biasanya berhubungan
dengan penyakit yang mendasarinya. Terapi yang dilakukan adalah sama seperti
pada kasus diabetes ketoasidosis, EKG mungkin diperlukan untuk melihat hearth
reat.
2.2
Konsep
Obesitas
2.2.1 Pengertian
Obesitas merupakan suatu
penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak
berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar
dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertanbah
berat badanya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian bertambah
banyak (Aru W Sudoyo, 2006).
Menurut Mayer, 1973 dalam
Sholihin Pudjiadi (2000). Obesitas merupakan keadaan patologis dengan
terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan untuk
fungsi tubuh.
Kegemukan didefinisikan
sebagai abnormal atau akumulasi lemak yang berlebihan yang menyajikan risiko
untuk kesehatan (WHO2, 2009).
2.2.2
Etiologi Obesitas
Menurut beberapa teori ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan obesitas, yaitu :
1.
Faktor
Genetik
Obesitas dapat
disebabkan oleh banyak faktor, berat badan seseorang 40 – 70% ditentukan secara
genetik (Aru W S, 2006). Faktor resiko terkuat terjadinya
obesitas pada anak dan remaja adalah mempunyai orang tua yang juga penderita
obesitas. Baik obesitas terjadi pada ibu atau ayah, hal ini tidak membawa
banyak perbedaan. Diduga, mempunyai orang tua yang keduanya penderita obesitas
akan membawa faktor risiko yang lebih besar daripada hanya salah satu saja yang
menderita obesitas (Rudolph, 2006 ).
2.
Faktor
Lingkungan
Menurut Zainun Mutadin (2002) faktor lingkungan
ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang
dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan
keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama
pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang
yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan
kegemukan.
3.
Kebiasaan
makan
Menurut Zainun Mutadin (2002) Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat
badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan,
atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin
makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang
menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak
memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.
4.
Kurangnya
kegiatan fisik
Menurut Zainun Mutadin (2002) tingkat
pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh.
Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah
raga secara umum 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan
untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut
metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi
orang normal. Meski aktivitas fisik hanya
mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal,
tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki
peran yang sangat penting.
5.
Kemiskinan
/ Kemakmuran
Semakin tinggi status
ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya
akan dimilikinya, hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga
glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh hati menjadi glikogen atau disimpan
di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul obesitas. Di Amerika
Serikat, sudah terbukti bahwa obesitas berkaitan dengan status sosial-ekonomi
(Rudolph, 2006).
2.2.3
Penentuan Obesitas
Mengukur lemak tubuh secara
langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa
tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mngukur
tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Saat ini IMT
menjadi indikator paling bermanfaat untuk menentukan barat badan lebih atau
obesitas. Orang yang lebih besar tinggi dan gemuk akan lebih berat dari orang
yang lebih kecil.
Meta-analisa beberapa
kelompok etnik berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia dan gender yang
sama , menunjukkan Etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3
kg/m2 dan etnik Polanesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2
dibandingkan dengan Etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China,
Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9 ; 4,6 ; 3,2 dan 2,9 kg/m2
lebih rendah daripada Etnik Kaukasia.
Tabel 2.2 Klasifikasi
berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO
|
|
Klasifikasi
|
IMT (kg/m2)
|
Berat badan kurang
|
<18,5
|
Kisaran normal
|
18,5 – 24,9
|
Berat badan lebih
|
>
25
|
Pra-obes
|
25,0 – 29,9
|
Obesitas tingkat I
|
30,0 – 34,9
|
Obesitas tingkat II
|
35,0 – 39,9
|
Obesitas tingkat III
|
> 40
|
(Aru W Sudoyo, 2006)
Tabel 2.3 Klasifikasi berat
badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriterais
Asia Pasifik
|
|||
Klasifikasi
|
IMT
(kg/m2)
|
Resiko Ko-Morbiditas
|
|
Lingkar perut
|
|||
< 90 cm (laki-laki)
|
≥ 90 cm (laki-laki)
|
||
< 80 cm (perempuan)
|
≥ 80 cm (perempuan)
|
||
Berat badan kurang
|
< 18,5
|
Rendah (resiko meningkat pada masalah klinis lain)
|
Sedang
|
Kisaran normal
|
18,5-22,9
|
Sedang
|
Meningkat
|
Berat badan lebih
|
≥ 23,0
|
||
·
Beresiko
|
23,0 – 24,9
|
Meningkat
|
Moderat
|
Obes I
|
25,0 – 29,9
|
Moderat
|
Berat
|
Obes II
|
≥ 30,0
|
Berat
|
Sangat berat
|
2.2.4
Penanganan Obesitas
Penurunan berat badan
mempunyai efek yang menguntungkan terhadap penderita obesitas. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 10% dari berat awal mengakibatkan perbaikan kesehatan secara
signifikan. Walaupun belum ada penelitian yang menunjukkan perubahan pada angka
kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obesitas, dengan penurunan
berat badan, pengurangan pada faktor resiko ini dianggap akan menurunkan
perkembangan diabetes tipe 2 serta kardiovaskular.
Terapi penurunan berat badan
yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik,
perubahan perilaku dan obat-obatan / bedah.
1.
Terapi diet
Pada program manajemen berat
badan, terapi diet perancanaan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus
dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat
defisit 500 hingga 1000 Kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
program penurunan berat badan apapun.
Disamping pengurangan lemak
jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30% dari total kalori.
Penggunaan prosentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan
penurunan berat badan kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak
dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut
bermaksud untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL
2.
Aktivitas fisik
Peningkatan fisik merupakan
komponen penting dari penurunan berat badan, walaupun aktivitas fisik tidak
dapat menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam
bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan kalori.
Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat
badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko
kardiovaskular dan diabetes mellitus lebih banyak dibandingkan dengan
pengurangan berat badan tanpa aktivitas.
Aktivitas fisik yang
berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat badan dalam
jangka panjang dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur.
Untuk pasien obesitas,
terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan
secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara
bertahap sepanjang hari.
Pasien dapat mulai antifitas
fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan
dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali
seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 hingga
200 kalori per hari dapat dicapai.
Regimen ini dapat diadaptasi
ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik
karena keamanan dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan
aktivitas sehari-hari seperti naik tangga daripada naik lift. Seiring waktu,
pasien dapat melakkukan aktivitas yang lebih berat.
Strategi lain untuk
meningkatkan aktifitas fisik adalah mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara melakukan
aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah.
3.
Terapi perilaku
Untuk mencapai punurunan
berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi
hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang
spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas
fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah dan dukungan
sosial.
4.
Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan
salah satu komponen penting dalam program manajemen berat badan. Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obat penurun berat badan yang telah
disetujui oleh FDA di Amerika serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada
pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orslistat sangat berguna.
Sibutramine ditambah diet
rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan
mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine
dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien gagal jantung,
jantung koroner, aritmia dan riwayat stroke.
Orsitat menghambat
absorbsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orsitat, dibutuhkan penggantian
vitamin larut lemak karena terjadi malabsorbsi parsial. Semua pasien harus
dipantau efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter
dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efisiensi dan keamanan.
5.
Pembedahan
Terapi bedah merupakn salah
satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada
pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI≥40 atau ≥35 dengan kondisi
komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk
pasien yang gagal farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang
ekstream.
Bedah gastrointestinal (retriksi gastrik atau bypass gastric) adalah suatu intervensi
penurunan berat badan pada subyek yang termotivasi dengan resiko operasi
rendah.
Suatu program yang
terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan
panduan diet, aktivitas fisik dan perubahan perilaku serta dukungan.
2.2.5
Dampak Obesitas
Dampak dari obesitas merupakan
penyakit-penyakit yang banyak memakan korban meniggal dunia. Termasuk jantung
coroner dan diabetes mellitus yang saai ini telah banyak dibicarakn oleh dunia
kesehatan tentang penanganannya.
1.
Penyakit jantung
dan stroke
Mereka dengan IMT paling
sedikit 30 mempunyai 50-100% peningkatan risiko kematian dibandingkan mereka
dengan IMT 20-25. Obesitas tipe buah
apel mempunyai resiko hampir 3 kali untuk menderita penyakit jantung
dibandingkan dengan BB normal. Meningkatnya lemak pada daerah perut secara
spesifik dihubungkan dengan kekakuan pembuluh darah aorta, yaitu pembuluh darah
arteri utama yang memberikan darah ke organ-organ tubuh.
2.
Tekanan darah
tinggi
Hubungan antara obesitas dan
hipertensi adalah kompleks dan mungkin menggambarkan interaksi faktor genetik,
demografi dan biologik. Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa penurunan BB
bermanfaat untuk mengurangi tekanan darah.
3.
Gagal jantung
Suatu penelitian tahun 2002
melaporkan bahwa obesitas mungkin bertanggung jawab terhadap 11% gagal jantung
pada pria dan 14 % pada wanita. Tetapi mekanismenya masih belum jelas.
4.
Gangguan lemak
darah (Dislipidemia)
Efek obesitas pada kadar
kolesterol adalah kompleks. Walaupun obesitas tidak mempunyai hubungan yang
kuat dengan kadar kolesterol, tetapi
kadar Trigliserida (TG) biasanya tinggi sedang Kolesterol baik (HDL)
cenderung menurun yang keduanya menyebabkan penyakit jantung.
5.
Resistensi
insulin dan DM tipe2
Kebanyakan penderita DM tipe
2 adalah obesitas dan pada kenyataannya
memberikan kesan yang kuat bahwa penurunan BB dapat menjadi kunci di
dalam mengontrol terhadap DM tipe 2, yang mempunyai kelainan berupa
ketidakmampuan menggunakan insulin di dalam metabolisme glukosa.
Keadaan ini sering disebut
dengan resistensi insulin dan juga dihubungkan dengan hipertensi dan kelainan
pembekuan darah. Walaupun mekanisme yang tepat hubungan antara obesitas dan DM
tipe 2 sama sekali belum jelas, tetapi sel2 lemak dapat melepaskan zat kimia
tertentu yang menghambat kepekaan tubuh terhadap insulin.
6.
Sindroma
metabolik (sindroma X)
Terdiri
dari obesitas yang ditandai dengan penumpukan lemak pada daerah perut, gangguan
kolesterol, hipertensi, dan resistensi insulin. Tampaknya faktor genetik
berperanan, walaupun obesitas dan makan yang cepat memegang peranan penting di
dalam perkembangan sindroma ini. Sindroma metabolik secara signifikan
dihubungkan dengan penyakit jantung dan angka kematian yang lebih tinggi.
2.3
Konsep
Stress
2.3.1 Pengertian Stress
Menurut Selye dalam buku
Fundamental Keperawatan volume 1, stress adalah segala situasi dimana tuntutan
non-spesifik mengharuskan individu untuk berespon atau melakukan tindakan
(Potter and Perry, 2005).
Menurut Dadang Hawari dalam
buku psikologi untuk keperawatan, stress adalah reaksi atau respon tubuh
terhadap stressor psikososial (Sunaryo, 2004).
Ketidakmampuan mengatasi
ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang
pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatn fisik manusia tersebut (National
Safety Council, 2004).
2.3.2 Mekanisme Fisologi Tubuh Terhadap Stress
Karena respon tubuh terhadap
stress akan terasang sistem syaraf simpatis, sering dikatakan bahwa tujuan
sistem simpatis adalah untuk mengadakan penggiatan tambahan dari tubuh dalam
keadaan stress. Ini sering disebut reaksi stress simpatis. Sisten simpatis juga
sangat digiatkan dalam banyak keadaan emosional. Misalnya dalam keadaan merah,
yang terutama ditimbulkan oleh perangsangan hipotalamus, ini menyebabkan
terangsangnya saraf simpatis atau lebih dikenal dengan istilah reaksi alaram
simpatis (Guyton and Hall, 2007)
Secara fisiologis sistem
syaraf simpatis akan miningkatkan kegiatan metabolisme dalam tubuh, secara
khusus menyebabkan beberapa hal dibawah ini :
1.
Peningkatan
tekanan arteri (tekanan darah).
2.
Peningkatan
aliran darah ke otot-otot aktif berbarengan dengan penurunan aliran darah ke
organ-organ yang tidak penting untuk kegiatan cepat.
3.
Peningkatan
kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh.
4.
Peningkatan
glikolisis di dalam otot.
5.
Peningkatan
kekuatan otot.
6.
Peningkatan
konsentrasi glukosa darah.
7.
Peningkatan kegiatan
mental.
Stress dapat meningkatkan
kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan
timbulnya proses glikoneogenesis di
dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam
beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).
2.3.3 Penyebab Stress dan Stressor psikosal
Menurut Iyus Yosep (2007) stressor psikosal adalah
setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan
seseorang (anak, remaja atau dewasa), sehingga orang itu terpaksa mengadakan
adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul. Namun, tidak semua mampu
mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbulah
keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Pada umumnya jenis stressor
psikosal dapat digolongakn sebagai berikut :
1.
Perkawinan
Berbagai
permasalahan perkawinan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami
seseorang : misalnya pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian, kematian salah satu pasangan,
ketidaksetiaan dan lain sebagainya. Stressor perkawinan ini dapat menyebabkan
seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
2.
Problem Orang Tua
Permasalahan
yang hadapi orang tua misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan
anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain
sebagainya. Permasalahan tersebut di atas merupakan sumber stress yang pada
gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.
3.
Hubungan Interpersonal
(Antarpribadi)
Gangguan
ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik
dengan kekasih, antar atasan dan bawahan, dan lain sebagainya. Konflik hubungan
interpersonal ini dapat merupakan sumber stress bagi seseorang dan yang
bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya.
4.
Pekerjaan
Masalah
pekerjaan merupakan sumber stress kedua
setelah masalah perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena
masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak
cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK)
dan lain sebagainya.
5.
Lingkungan Hidup
Kondisi
lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang. Misalnya soal perumahan, pindah tempat
tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan
sebagainya. Rasa tercekam dan tidak merasa aman ini sangat mengganggu ketenagan
dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh ke dalam depresi dak
kecemasan.
6.
Keuangan
Masalah
keuangan (kondisi social ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh
lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal
warisan, dan lain sebaggainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang dan seringkali masalah keuangan ini merupakan faktor yang
membuat seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
7.
Hukum
Keterlibatan
seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan stress pula, misalnya tuntutan
hukum, pengadilan, penjara dan lain-lain. Stress di bidang hukum ini dapat
menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan
8.
Perkembangan
Yang
dimaksud disini adalah masalah perkembangn baik fisik maupun mental seseorang,
misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya.
Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sebagian individu
dapat menyebabkan depresi dan kecemasan terutama pada mereka yang mengalami
menopause dan usia lanjut. Sedangkan menurut penelitan terbaru, pada umur 40 tahun kinerja otak kita mulai
menurun. Ini berkaitan dengan selubung mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak.
Di atas umur 40, tubuh kita mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus
memperbaharui selubung itu, sehinga menyebabkan berbagai gejala kognitif yang
dikaitkan dengan penuaan (Catshade, 2009).
9.
Penyakit Fisik dan Cidera
Sumber
stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini antara lain penyakit,
kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini
penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis,
jantung, kanker dan sebagainya.
10. Faktor Keluarga
Yang
dimaksud disini adalah faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang
disebabkan kondisi keluarga yang tidakbaik (yaitu sikap orang tua) misalnya:
1) Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh
ketegangan atau acuh tak acuh.
2) Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu
untuk bersama dengan anak-anak.
3) Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik.
4) Kedua orang tua berpisah dan bercerai.
5) Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa /
kepribdian
6) Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah,
keras, dan otoriter dan lain sebagainya.
11. Lain-lain
Stressor
kehidupan lainnya juga dapat menimbulakan depresi dan kecemasan adalah antara
lain bencana alam, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan lain sebagainya.
2.3.4 Model-Model Stress
Asal dan efek stress dapat diperiksa dalam istilah kedokteran
dan model teoritis perilaku. Model stress digunakan untuk mengidentifikasi
stressor bagi individu tertentu dan memprediksi respon individu tersebut
terhadap stressor. Setiap model menekankan aspek stress yang berbeda.
Perawat menggunakan model stress untuk membantu klien mengatasi respon
yang tidak sehat, non-produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu
perawat berespon dalam merawat dengan cara yang menunjukkan individualisasi
bagi klien.
1.
Model Stress
Berdasarkan Respon
Model ini mengidentifikasi
stress sebagai respon induvidu terhadap stressor yang diterima. Selye (1982)
menjelaskan stress sebagai respon non spesifik yang timbul terhadap tuntunan
lingkungan, respon umun ini disebut sebagai general adaptasi sindrom (GAS) dan
dibagi menjadi tiga fase yaitu : fase sinyal, fase perlawanan dan fase
keletihan (Iyus Yosep , 2007).
1)
Reaksi alaram /
sinyal
Merupakan respon siaga (flight or flight), yang termasuk disini
adalah efek aktivasi sistem syaraf autonom dan mempunyai karakteristik adanya
penurunan resistensi tubuh terhadap stress. Medula adrenal sebaliknya
mensekresi adrenalin dan nonadrenalin. Hormon adrenokortikotropik (ACTH) dihasilkan oleh glandula hipofisis, yang
menstimulus korteks adrenal untuk melepaskan glikokortikotiroid. Dapat terjadi peningkatan emosi dan ketegangan
(Niven Neil, 2000).
2)
Tahap resistensi
/ perlawanan
Hipofisis terus mengeluarkan
ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid, yang penting untuk
resistensi terhadap stress karena glukokortikoid merangsang konversi lemak dan
protein menjadi glukosa yang menghasilkan energi untuk mengatasi stress. Selama
tahap ini, resistensi terhadap stress yang khusus meningkat dan kemudian respon
yang sifatnya sama akan hilang. Banyak penyakit yang berhubungan dengan stress
timbul pada tahap resistensi. Beberapa mungkin berhubungan dengan efek dari
hormon glukokortikoid yang menghambat
pembentukan antibodi, dan menurunkan pembentukan sel darah putih. Bagian lain
dari tahap resistensi GAS adalah penekanan dari banyak fungsi tubuh yang
berhubungan dengan perlaku seksual dan reproduksi. Pada pria, produksi sperma
menurun, karena penurunan sekresi hormon seksual pria; pada wanita siklus
menstruasi terganggu atau tertekan (Niven Neil, 2000).
3)
Tahap kelelahan
/ keletihan
Jika stress yang khusus
tersebut terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk menahannya dan untuk
menghindari stress yang lain pada akhirnya akan gagal (Niven Neil, 2000).
2.
Model Berdasar
Stimulus
Model stimulus berdasarkan
pada analogi sederhana dengan hukum elastisitas, Hooke menjelaskan hukum
elastisitas untuk menguraikan bagaimana beban dapat menimbulkan kerusakan. Jika
strain yang dihasilkan oleh stress yang diberikan berada pada batas elastisitas
dari material tersebut akan kembali ke kondisi semula, tetapi jika strain yang
dihasilkan melampaui batas elastisitasnya maka kerusakan akan terjadi.
Pendekatan model stimulus
ini menganggap stress sebagai ciri-ciri dari stimulus lingkungan yang dalam
beberpa hal dianggap mengganggu atau merusak, model yang digunakan pada
dasarnya adalah stressor eksternal akan menimbulkan reaksi stress atau strain
dalam diri individu. Pendekatan ini menempatkan stress sebagai sesuatu yang
dipelajari dan menekankan pada stimulus apa yang merupakan diagnosa stress. Hal
ini memandang bagaimana sumber daya individu. Kelemahan dari model stimulus ini
adalah kegagalannya dalam memperhitungkan cara orang menyatakan realita dari
stimulus lingkungan terhadap respon. (Iyus Yosep , 2007).
3.
Model Berdasar
Transaksional
Pendekatan ini mengacu pada
interaksi yang timbul manusia dan lingkungannya. Antarvariabel lingkungan dan
individu terhadap proses penilaian kognitif yang menjadi mediatornya. Studi
yang berlandaskan pada pendekatan ini menyimpulkan bahwa kita tidak akan dapat
memprediksi penampilan seseorang hanya dengan mengenali stimulus, individu
bervariasi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu dengan melakukan
koping terhadap berbagai tuntutan.
Tiga tahap dalam mengukur
potensial yang mengandung stress yaitu pengukuran suatu situasi potensial
mengandung stress : (1) pengukuran primer; menggali persepsi individu terhadap
masalah saat ia menilai tantangan atau tuntutan yang menimpanya; (2) pengukuran
skunder; mengkaji kemampuan seseorang atau sumber-sunber tersedia diarahkan
untuk mengatasi masalah; (3) pengukuran tersier, berfokus pada perkiraan
keefektifan perilaku koping dalam mengurangi dan menghadapi ancaman. (Iyus
Yosep , 2007)
2.3.5 Klasifikasi Stress
Apabila ditinjau dari penyebabnya stress, stress dapat
digolongkan sebagai berikut :
1.
Stress fisik
(suara, cahaya, temperatur, dan lain-lain).
2.
Stress kimiawi
(asam-basa kuat, obat-obatan dan lain sebagainya).
3.
Stress
mikrobiologik (virus, bakteri, parasit).
4.
Stress
fisiolosik (gangguan struktur, fungsi jaringan).
5.
Stress proses
pertumbuhan dan perkembangan (gangguan pertumbuhan dan perkembangan dari kecil
hingga tua).
6.
Stress psikis /
emosional (gangguan hubungan personal, sosial,budaya atau keagamaan).
2.3.6
Gejala Dalam Tahapan Stress
Gangguan stress biasanya
timbul secara lambat, tidak jelas kapan mulainya dan sering kali tidak
disadari. Namun demikian dari pengalaman praktik psikiatri, para ahli mencoba
membagi stress tersebut dalam enam tahap yaitu (Iyus Yosep, 2007) :
1.
Stress tingkat I
Tahap ini merupakan tingkat
stress yang paling ringan, dan biasanya disertai perasaan sebagai berikut :
1)
Semangat besar.
2)
Penglihatan
tajam tidak sebagaimana biasanya.
3)
Energi dan gugup
berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
2.
Stress tingkat
II
Dalam tahap ini dampak
stress yang menyenangkan mulai hilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan
cakupan energi tidak mencukupi sepanjang hari. Keluhan-keluahn yang sering
dikemukakan sebagai berikut :
1)
Merasa letih
sewaktu bangun pagi.
2)
Merasa lelah
sesudah makan siang.
3)
Merasa lelah
menjelang sore hari.
4)
Terkadang
gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang pula
jantung berdebar-debar.
5)
Perasaan tegang
pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher).
6)
Perasaan tidak
santai.
3.
Stress tingkat
III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak
disertai dengan gejala-gejala
1)
Gangguan usus
lebih terasa (sakit perut, mulas, sering inginkebelakang).
2)
Otot-otat terasa
lebih tegang
3)
Perasaan tegang
semakin meningkat.
4)
Gangguan tidur
(sukar tidur, sering terbangun malam dan suka tidur kembali atau bangun terlalu
pagi).
5)
Badan terasa
oyong, rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)
Pada tahap ini penderitan
sudah mulai berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stress dan tuntutan
dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi guna
memulihkan suplai energi.
4.
Stress tingkat
IV
Tahap ini sudah menunjukan
keadaan yang lebih buruk yang ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Untukbisa bertahan
sepanjang hari terasa sangat sulit
2)
Kegiatan-kegiatan
yang semula menyenangkan kini terasa sulit.
3)
Tidur semakin
sukar, mimpi-mimpi menegangkan, dan sering terbangun dini hari
4)
Kehilangan
kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan-kegiatan
rutin lainnya terasa berat.
5)
Perasaan negatif
6)
Kemempuan
berkonsentrasi menurun tajam
7)
Perasaan takut
yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa.
5.
Stress tingkat V
Tahapan ini merupakan
keadaan lebih mendalam dari tahapan IV diatas yaitu:
1)
Keletihan yang
mendalam
2)
Untuk pekerjaan
yang sederhana saja terasa kurang mampu
3)
Gangguan sistem
pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau
sebaliknya feses cair dan sering ke belakang.
4)
Perasaan takut
yang semakin manjadi, mirip panic
6.
Stress tingkat
VI
Tahapan ini merupakan tahap
puncak yang merupakan keadaan gawat darurat, tidak jarang penderita dalam tahap
ini dibawa ke ICU. Gejala-gejala pada tahap ini adalah :
1)
Debar jantung
terasa amat kuat, hal ini disebabkan zat adrenalin dikeluarkan, karena stress
cukup tinggi dalam peredaran darah.
2)
Sesak nafas
3)
Badan gemetar,
tubuh dingin dan keringat bercucuran
4)
Tenaga untuk
hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan.
2.3.7
Pengukuran Stress
Merurut
Holmes dan Rahe pengukuran stress berdasarkan perubahan-perubahan besar dalam
hidup seseorang. Ini disusun setelah melakukan penelitian berulang.
No
|
Pengalaman kehidupan
|
Skor
|
|
1
|
Kematian suami atau istri
|
100
|
|
2
|
Perceraian
|
65
|
|
3
|
Kematian anggota keluarga dekat
|
63
|
|
4
|
Mengalami penyakit / tersinggung
|
53
|
|
5
|
Menikah
|
50
|
|
6
|
Diberhentikan dari pekerjaan (PHK)
|
47
|
|
7
|
Rujuk kembali dalam perkawinan
|
45
|
|
8
|
Pensiun / pengasingan diri
|
45
|
|
9
|
Gangguan kesehatan anggota keluarga
|
44
|
|
10
|
Kehamilan
|
40
|
|
11
|
Mengalami kesulitan berhubungan badan (seksual)
|
39
|
|
12
|
Ketambahan anggota keluarga baru
|
39
|
|
13
|
Perubahan keadaan keuangan
|
38
|
|
14
|
Kematian sahabat
|
37
|
|
15
|
Berganti profesi / pekerjaan
|
36
|
|
16
|
Pertengkaran dengan suami / istri
|
35
|
|
17
|
Mengambil uang simpanan / hutang dengan jumlah besar
|
31
|
|
18
|
Melunasi hutang dalam jumlah besar / mencegah
penggadaian atas pinjaman
|
30
|
|
19
|
Perubahan tanggung jawab dalam tugas kerja
|
29
|
|
20
|
Anak meniggalkan rumah (menikah, masuk perguruan
tinggi)
|
29
|
|
21
|
Menghadai masalah dengan mertua / menantu / ipar
|
29
|
|
22
|
Merasakan prestasi yang memuaskan
|
28
|
|
23
|
Istri mulai / berhenti bekerja
|
29
|
|
24
|
Memulai atau menyelesaikan, tukar kegiatan studi /
sekolah
|
18
|
|
25
|
Perubahan kebiasaan (tidak merokok, berdandan,
berinteraksi)
|
24
|
|
26
|
Mengalami konflik dengan atasan
|
23
|
|
27
|
Pergantian jam kerja
|
20
|
|
28
|
Pindah tempat tinggal
|
20
|
|
29
|
Pindah sekolah / tempat studi atau program studi
|
18
|
|
30
|
Pergantian hiburan
|
19
|
|
31
|
Hutang dalam jumlah sedikit
|
17
|
|
32
|
Perubahan kebiasaan tidur
|
16
|
|
33
|
Perubahan kebiasaan makan
|
15
|
|
34
|
Cuti atau libur panjang
|
13
|
|
35
|
Perubahan dalam jumlah pertemuan keluarga (lebaran)
|
15
|
|
|
Pelanggaran hukum ringan
|
11
|
Keterangan :
0 – 149 :
Tidak ada masalah yang berarti.
150 – 199 :
Stress ringan dengan 37% kemungkinan sakit.
200 – 299 :
Stress sedang dengan 51% kemungkinan sakit.
300 – lebih :
Stress berat dengan 79% kemungkinan sakit.
2.3.8
Adaptasi (Mekanisme Penyesuaian Diri)
Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau
diperoleh karena belajar dari pengalaman untuk mengatasi stress. Cara mengatasi
stress ada beberapa cara yaitu :
1. Identifikasi
Suatu cara yang
digunakan individu untuk menghadapi orang lain dengan membuatnya menjadi
kepribadiannya, ia ingin serupa dan bersifat seperti orang lain tersebut.
2. Kompensasi
Seorang individu tidak
memperoleh kepuasan di bidang tertentu, tetapi mendapatkan kepuasan dibidang
lain.
3. Overcompensasi /
reaction formation
Perilaku seseorang yang
gagal dalam mencapai tujuan dan tidak mengakui tujuan pertama tersebut dengan
melupakan dan melebih-lebihkan tujuan kedua yang biasanya berlawanan dengan
tujuan pertama.
4. Sublimasi
Suatu mekanisme sejenis
yang memegang peranan positif dalam menyelesaikan suatu konflik dengan
pengembangan kegiatan yang konstruktif. Penggantian objek dalam bentuk – bentuk
yang dapat diterima oleh masyarakat yang derajatnya lebih tinggi.
5. Proyeksi
Mekanisme perilaku
dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau
melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain. Mutu proyeksi lebih rendah
dari rasionalisasi.
6. Introyeksi
Memasukkan dalam diri
pribadi sifat-sifat dari pribadi orang lain.
7. Reaksi konversi
Secara singkat
mengalihkan konflik ke alat tubuh atau mengembangkan gejala fisik.
8. Represi
Konflik pikiran,
impuls-impuls yang tidak dapat diterima dengan paksaan ditekan ke dalam alam
tidak sadar dan sengaja dilupakan.
9. Supresi
Menekan konflik,
impuls-impuls yang tidak dapat diterima dengan secara sadar. Individu tidak mau
memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan dirinya.
10. Denial
Penolakan terhadap
sesuatu yang tidak menyenangkan.
11. Menarik diri (regresi)
Mekanisme perilaku
seseorang yang apabila menghadapi konflik frustrasi, ia menarik diri dari pergaulan
dengan lingkungannya.
12. Fantasi
Apabila seseorang
menghadapi konflik-frustrasi, ia menarik diri dengan berkhayal atau berfantasi.
13. Negativisme
Perilaku seseorang yang
selalu bertentangan / menentang otoritas orang lain dengan perilaku tidak
terpuji.
14. Sikap mengkritik
orang lain
Bentuk perilaku
pertahanan diri untuk menyerang orang lain dengan kritikan-kritikan. Perilaku
ini termasuk perilaku agresif yang aktif (terbuka).
2.4 Kerangka Konsep
Faktor yang tidak
dapat diubah
|
Genetik
|
Usia
|
Kadar Gula Darah Acak (GDA)
tinggi pada pasien DM
tipe II
|
Faktor yang dapat
diubah
|
Resistensi insulin
|
Obesitas
|
Kurang aktivitas
|
Merokok dan Alkohol
|
Diet
tinggi karbohidrat dan rendah serat
|
Asupan lemak
|
Sosial
ekonomi
|
Status
Rural Urban
|
↑ System Saraf Simpati
|
Glikoneogenesis
|
Stress / ketegangan
|
Glukosa
|
Keterangan :
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Obesitas Dan Stress dengan kadar gula darah acak pada
Pasien Diabetes Mellitus Di Puskesmas Karangbinangun tahun 2009
H1 : Terdapat hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien Diabetes Mellitus
Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun tahun 2009
Penyakit diabetes
mellitus disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor
yang tidak dapat diubah, faktor yang tidak dapat diubah meliputi keadaan
genetik, usia dan faktor yang dapat diubah meliputi faktor obesitas, stress,
asupan lemak, kurang aktivitas, diet nutrisi karbohidrat dan rendah serat,
status rural dan urban, asupan alkohol dan rokok dan status ekonomi. Dari
faktor-faktor di atas yang akan dilakukan penelitian adalah faktor yang dapat
diubah khususnya obesitas dan stress.
BAB 3
3.1 Desain Penelitian
Desain
penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tujuan atau menjawab suatu tahap
keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu
penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2003:80).
Desain yang
digunakan adalah analitik (studi korelasi) yang bertujuan untuk mencari,
menjelaskan suatu hubungan yang ada sehingga fenomena kesehatan dapat terjadi.
Pendekatan yang digunakan adalah cross
sectional yakni penelitian menekankan pada waktu pengukuran data variabel
independen dan dependen sekaligus pada satu saat.
3.2 Waktu dan Tempat
Penelitian
Penelitian
dilakukan pada bulan November 2009, dengan tempat penelitian di Puskesmas
Karangbinangun kecamatan Karangbinangun kabupaten Lamongan.
3.3
Populasi : pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas
karangbinangun bulan november 2009 yang berjumlah 30 orang.
Kerangka Kerja
Populasi : pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas
karangbinangun bulan november 2009 yang berjumlah 30 orang.
|
Sampling : Consecutive sampling
|
Sampel : Diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di
puskesmas karangbinangun pada bulan November 2009 sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang berjumlah 12 pasien
|
Variabel independen
- Obesitas - Stress
|
Pengumpulan
data : - Kuesioner terpimpin -
Lembar observasi
-
Timbangan injak - Mikrotoa
|
Pengolahan data dan
analisis Spearman
|
Penyajian hasil
|
Penarikan Kesimpulan
|
Variabel dependen : Kadar Gula Darah Acak (GDA)
Pada Pasien Diabetes mellitus tipe II
|
Desain : cross-sectional
|
Gambar 3.1 Kerangka
Kerja Penelitian Hubungan Antara Obesitas Dan Stress Dengan Kadar Gula Darah
Acak Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun tahun
2009.
3.4 Identifikasi Variabel
3.4.1
Pengertian
Variabel
Variabel
adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki
atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu
(Soekidjo Notoatmojo, 2005:70).
Menurut
Soeparto, dkk, 2000:54 dalam buku konsep dan penerapan metodologi penelitian
ilmu keperawatan. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan
nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Nursalam,
2003:101).
3.4.2
Variabel
dalam penelitian ini adalah:
1.
Variabel Independen (Bebas)
Variabel
independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam,
2008:97). Pada penelitian ini variabel independennya ada dua yaitu “Obesitas”
dan “Stress”.
2. Variabel
Dependen (Terikat)
Variabel
dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam,
2008:98). Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah “Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes
mellitus tipe II”.
3.5 Definisi Operasional
Variabel
Definisi operasional variabel
adalah ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati/diteliti
(Soekidjo Notoatmojo, 2005:70).
Tabel
3.1 Definisi Operasional Hubungan Antara
Obesitas Dan Stress Dengan Kadar Gula Darah Acak Pada Pasien Jumlah Diabetes
Mellitus TipeII Di Puskesmas Karangbinangun
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Indikator
|
Alat Ukur
|
Skala Data
|
Skor
|
1
|
Variabel independen Obesitas
|
Kelebihan berat badan
responden dibanding-kan BMI
|
Berat Badan
Tinggi Badan
|
Timbang-an berat badan
Mikrotoa
|
Ordinal
|
Tidak obesitas
BMI <23
Beresiko obesitas
BMI (23,0 – 24,9)
Obesitas I
BMI (25,0 – 29,9)
Obesitas II
BMI (>30)
|
2
|
Variabel Independen Stress
|
Penilaian tingkat stress
pada pasien diabetes mellitus tipe II berdasarkan skala Holmes dan Rahe
|
Skala
Holmes dan Rahe
|
Kuisioner terpimpin
|
Ordinal
|
Tidak stress
(0 – 149)
Stress ringan
(150 – 199)
Stress sedang
(200 – 299)
Sress berat
(300 – lebih)
|
3
|
Variabel dependen gula darah acak pasien diabetes mellitus tipe II
|
Hasil pengukuran kadar gula
darah sewaktu ≥200
|
Pemerik-saan kadar gula darah
|
Glukotest
|
Ordinal
|
Rendah
GDA : ≤90
Sedang
GDA : 90-199
Tinggi
GDA : ≥200
|
3.6 Populasi Sampel dan
Sampling
3.6.1
Populasi
Populasi
adalah setiap subyek yang mengetahui kriteria yang ditetapkan (Nursalam,
2003:93).
Populasi
adalah keseluruhan subjek penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:130). Pada
penelitian ini populasinya adalah seluruh Pasien diabetes mellitus tipe II yang
berkunjung di puskesmas Karangbinangun pada bulan November 2009.
3.6.2
Sampel
Sampel
adalah bagian dari populasi, yang diambil dengan menggunakan cara-cara
tertentu. ( Wasis, 2008 : 45). Pada penelitian ini sampelnya adalah sebagian
pasien diabetes mellitus tipe II yang berkunjung di puskesmas Karangbinangun pada bulan
November 2009.
Kreteria
inklusi adalah karakteristik yang dapat dirumuskan atau yang layak untuk
diteliti (Nursalam, 2003:96). Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah:
1.
Secara fisik sadar dan dapat
berkomunikasi.
2.
Bersedia menjadi responden
dalam penelitian ini.
3.
Responden berusia lebih dari
30 tahun keatas.
Kreteria
eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak layak untuk diteliti (Nursalam,
2003:97).
3.6.3
Sampling
Sampling merupakan suatu proses dalam menyeleksi porsi dan populasi untuk
dapat mewakili populasinya (Nursalam, 2003:93).
Sampling yaitu dari seluruh individu yang menjadi objek penelitian
(Mardalis, 2004). Metode sampling yang digunakan adalah Non Probability sampling dengan jenis Consecutive sampling.
Menurut Sastroasmoro & ismail,
1995:49. Consecutive sampling adalah cara pengambilan sampel dengan
menetapkan subyek yang memenuhi kreteria penelitian dimasukkan dalam penelitian
sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam,
2003:98).
3.7 Pengumpulan dan Analisa
Data
3.7.1
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan
karakteristik seubjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,
2008:111).Setelah mendapat ijin baik dari akademik, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Lamongan, maupun
Kepala Puskesmas Karangbinangun, peneliti mengadakan pendekatan dengan
responden untuk mendapat persetujuan dari responden sebagai subjek penelitian,
yaitu seluruh penderita
diabetes mellitus yang berkunjung di puskesmas karangbinangun pada bulan November
2009 yang
memenuhi kriteria inklusi.
3.7.2
Cara pengumpulan data
Cara
pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menentukan terlebih
dahulu pasien mengalami diabetes mellitus tipe II, yaitu dengan menyingkirkan
pasien diabetes mellitus dibawah 30 tahun, kemudian dilajutkan dengan
pemeriksaan Kadar Gula Darah Acak dengan menggunakan alat glukotest. Setelah
itu pasien akan diukur berat badan dan tinggi badannya dengan menggunakan
timbangan dan mikrotoa. Pengukuran terakhir adalah dengan memberikan pertanyaan
kuesioner kepada pasien untuk pengukuran tingkat stress yang dialami selama
setahun terakhir. Akhirnya data dikumpulkan dalam satu tempat yang selanjutnya
akan masuk pada tahap selanjutnya.
3.7.3
Instrument
Instrument
penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002:48). Dalam penelitian ini variabel independen
obesitas, metode yang digunakan adalah pengukuran biofisiologis dan untuk
mendapatkan data tersebut dibutuhkan alat berupa timbangan berat badan dan
metline. Variabel independen yang kedua adalah Stress alat yang digunakan
adalah kuesioner berbentuk pertanyaan tertutup atau closed ended dengan jumlah pertanyaan adalah 36. Pada variabel
dependen (GDA
Pada Pasien diabetes
mellitus tipe II) peneliti menggunakan glukotest dari darah kapiler,
dan hasilnya dicantumkan pada lembar observasi.
3.7.4
Analisa Data
Dari hasil pengisian kuesioner
kemudian diadakan teknik pemberian skor dengan menggunakan skala ordinal, yaitu
data yang disusun atas dasar jenjang dalam atribut tertentu (Nursalam,
2003:124).
Langkah-langkah
analisis data
1. Editing
Editing adalah
upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, A.
Aziz Alimul, 2007:121).
Peneliti
akan memeriksa kembali apakah kuesioner diisi sesuai dengan petunjuk
sebelumnya, mungkin terdapat kuesioner yang belum diisi atau pengisian tidak
sesuai dengan petunjuk. Semua kekuarangan dan kerusakan kita yang mengedit,
sebaiknya diperbaiki dengan jalan menyuruh mengisi kembali kuesioner yang masih
kosong pada responden semula.
2.
Coding
Coding
merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori (Hidayat, A. Aziz Alimul
A, 2007:121).
Pemberian
kode untuk lembar pengukuran / observasi adalah diberikan untuk hasil dari
pengukuran berat badan dan tinggi badan, setelah dihitung dengan rumus BMI
Kode
I untuk Tidak obesitas : BMI <23
Kode
II untuk Beresiko obesitas : BMI (23,0 – 24,9)
Kode
III untuk Obesitas I : BMI (25,0 – 29,9)
Kode
IV untuk Obesitas II : BMI
>30
Pemberian
kode diberikan pada lembar kuesioner, setelah dilakukan penjumlahan terhadap
skor pada skala stress yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kode A untuk skor
0 – 149 : Tidak ada masalah
yang berarti.
Kode B untuk skor
150 – 199 : Stress ringan
Kode C untuk skor
200 – 299 : Stress sedang
Kode D untuk skor
300 – lebih : Stress berat
Pemberian
kode yang terakhir yaitu hasil pengukuran dari test gula darah dengan
menggunakan glukotest, yaitu :
Kode
(-) jika Kadar Gula Darah Acak (GDA) : ≤90 :
Rendah
Kode
(+/-) jika Kadar Gula Darah Acak (GDA) : 90-199 :
Sedang
Kode
(+) jika Kadar Gula Darah Acak (GDA) :
≥200 : Tinggi
3.
Scoring
Memberikan
skor atau nilai pada jawaban responden. Jawaban benar diberi nilai atau skor
sesuai dengan skor yang telah ditentukan, sedangkan jawaban yang salah diberi
nilai atau skor 0, kemudian data di interprestasikan dengan modifikasi
penerikan kesimpulan.
Skor
untuk Obesitas
1) Tidak obesitas : BMI <23
2) Beresiko obesitas :
BMI (23,0 – 24,9)
3) Obesitas I :
BMI (25,0 – 29,9)
4) Obesitas II :
BMI (>30)
Penentuan tingkat Stress
1) Tidak stress :
(0 – 149)
2) Stress ringan :
(150 – 199)
3) Stress sedang :
(200 – 299)
4) Sress berat :
(300 – lebih)
Penentuan kadar gula darah
1) Rendah : (Kadar Gula Darah
Acak : ≤90)
2) Sedang
: (Kadar Gula Darah Acak :
90-199)
3) Tinggi :
(Kadar Gula Darah Acak : ≥200)
Dari hasil analisa data tersebut akan
diinterpretasikan dengan skala :
Seluruhnya : 100%
Hampir seluruhnya : 76-99%
Sebagian besar
: 51-75%
Setengah : 50%
Hampir setengah : 26-49%
Sebagian kecil : 1-25%
Tidak satupun : 0%
(Suharsimi Arikunto, 1998)
4.
Tabulating
Tabulating yaitu pengorganisasian
data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata
untuk disajikan dan dianalisis (Budiarto, 2001).
5. Uji
statistika
Penghitungan data statistik menggunakan program
SPSS 11.5 dengan rumus spearman yaitu :
Keterangan :
rs = nilai korelasi spearman rank
d = selisih setiap pasangan rank
n = jumlah pasangan rank speerman untuk
(5<n<30)
6. Cara penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan setelah perhitungan
statistik dengan menggunakan program SPSS 11.5. jika p < α (0,05) maka H1
diterima, artinya terdapat hubungan antara Obesitas dan Stress dengan Kadar
Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus. Sedangkan jika α (0,05) < p,
maka H1 ditolak, artinya tidak terdapat hubungan antara obesitas dan
stress dengan Kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas
Karangbinangun.
7. Piranti/alat
yang digunakan untuk menganalisa (manual/digital)
Peneliti menggunakan
program SPSS 11.5 dalam menganalisa data menggunakan analisis spearman.
3.8 Etika Penelitian
Etika yang
mendasari dilaksanakannya suatu penelitian, meliputi:
3.8.1
Informed Concent atau Lembar Persetujuan
Menjadi Reponden
Lembar persetujuan
peneliti diberikan kepada responden. Persetujuan diberikan pada subjek yang
akan diteliti oleh peneliti, sehingga subjek mengetahui maksud dan tujuan
penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subjek
bersedia diteliti maka harus ditandatangani lembar persetujua, tetapi jika
subjek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati haknya (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007).
3.8.2
Anonimity atau Tanpa Nama
Untuk
menjaga kerahasiaan subjek, peneliti tidak mencantumkan nama subjek pada lembar
pengumpulan data, cukup diberi kode atau nomor tertentu pada lembar tersebut
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007).
3.8.3
Confidentiality atau
Kerahasiaan
Kerahasiaan
informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data
saja yang akan disajikan atas laporan hasil penelitian (Hidayat, A. Aziz
Alimul, 2007).
3.9 Keterbatasan
1.
Metode penelitian menggunakan metode cross
sectional sehingga penelitian ini tidak
dapat mengetahui penyebab dari suatu penelitian, hanya menghubungkan
faktor resiko dengan kejadian suatu penyakit
2.
Metode penelitian yang digunakan adalah cross
sectional yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel
dependen dan independen hanya satu waktu.
3.
Penelitian ini hanya dilakukan dalam waktu satu bulan saja, sehingga data
yang didapatkan sedikit.
4.
Alat yang digunakan masih kurang
memenuhi standart.
BAB 4
Dalam
bab ini diuraikan tentang hasil penelitian yang dilakukan pada bulan November tahun 2009 di Puskesmas
Karangbinangun, kecamatan Karangbinagun Kabupaten Lamongan.
Hasil
penelitian ini disajikan dalam 2 bagian yaitu data umum dan data khusus. Data
umum meliputi gambaran umum lokasi penelitian dan karakteristik responden yang
terdiri dari umur dan
jenis
kelamin.
Sedangkan data khusus terdiri dari hasil pengukuran BMI, tingkat stress
dan Kadar Gula Darah Acak responden, serta hubungan obesitas dan stress dengan Kadar
Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus
tipe II.
4.1
Hasil
Penelitian
4.1.1 Data Umum
1.
Gambaran Lokasi Penelitian
Wilayah
puskesmas Karangbinangun berada sungai bengawan Solo, luas wilayah kurang lebih
. 1.724,01 Ha. Kawasan terdiri dari sawah dan tambak yang sebagian besar adalah
tanah tadah hujan. Batas wilayah kerja puskesmas
Sebelah
Utara : Bengawan Solo Kec. Dukun Gresik
Sebelah
Timur : Bengawan Solo Kec. Bungah Gresik
Sebelah
selatan : Kec. Glagah dan Kec. Deket.
Sebelah Barat
: Kec. Kalitengah
Jumlah Desa
wilayah kerja puskesmas Karangbinangun ada 21 desa yaitu :
1)
Desa Blawi
2)
Desa Putat Bangah
3)
Desa Ketapang telu
4)
Desa Gawe Raja
5)
Desa Somowinangun
6)
Desa Karanganum
7)
Desa Kuro
8)
Desa Sukorejo
9)
Desa Waruk
10) Desa
Baranggayam
11) Desa
Priyoso
|
12) Desa
Karangbinangun
13) Desa
Banjarejo
14) Desa
Plalangan
15) Desa
Mayong
16) Desa
Pendowolimo
17) Desa Bago
Babatan
18) Desa Windu
19) Desa
Watang Panjang
20) Desa Sambo
Pinggir
21) Desa Banyu
Urip
|
Tingkat
pendidikan di masyarakat Karangbinangun dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Tamat SD /
MI : 41%
2) Tamat SLTP /
MTS : 24%
3) Tamat SMU /
MA : 21%
4) Tamat PT : 12%
Mata
pencaharian penduduk masyarakat kecamatan Karangbinangun adalah :
1) Nelayan : 5%
2)
Petani :
75%
3)
Wiraswasta :
18%
4)
PNS :
2%
2.
Karakteristik Responden
1)
Karakteristik Responden
(1)
Kelompok Umur
Gambar 4.1 Diagram
Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan
November Tahun 2009
Dari Gambar 4.1 dapat dijelaskan bahwa dari 12
responden hampir setengah pasien Diabetes Mellitus tipe II berumur 30-40 tahun
yaitu sebanyak 41% atau 5 orang dan sebagian kecil penderita Diabetes Mellitus tipe II (17%) atau
2 orang yaitu pada kelompok usia 50-59 dan lebih dari 60 tahun.
(2)
Kelompok
Jenis Kelamin
Data
responden berdasarkan kelompok jenis kelamin disajikan dalam bentuk diagram
ini:
Gambar 4.2
Diagram Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan Nopember Tahun 2009
Dari Gambar
4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa dari 12 responden hampir seluruh pasien
Diabetes Mellitus tipe II berjenis kelamin Laki-laki yaitu sebesar 67% atau 8
orang dan hampir setengah berjenis pasien Diabetes Mellitus tipe II kelamin
Perempuan yaitu sebanyak 33% atau 4 orang.
(3)
Kelompok pekerjaan
Gambar
4.3 Diagram Distribusi Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan Nopember Tahun 2009
Beradsarkan gambar 4.3 dapat disimpulkan bahwa dari 12
responden hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II tidak bekerja yaitu
33% atau 4 orang, dan sebagian kecil pasien diabetes mellitus tipe II bekerja
Swasta yaitu sebesar 17% atau 2 orang.
4.1.2 Data Khusus
1.
Distribusi responden berdasarkan keadaan Obesitas pada
pasien diabetes mellitus tipe II.
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Obesitas pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe II Bulan Nopember Tahun 2009
No
|
Obesitas
|
Jumlah
|
Prosentase
|
1
|
Tidak obesitas
|
4
|
33,33%
|
2
|
Beresiko obesitas
|
3
|
25,00%
|
3
|
Obesitas 1
|
4
|
33,33%
|
4
|
Obesitas 2
|
1
|
8,33%
|
Total
|
12
|
100%
|
Berdasarkan
tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien diabetes
mellitus tipe II mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas yaitu sebesar 33,33%,
dan sebagian kecil pasien dibetes mellitus tipe II mengalami obesitas 2 yaitu
sebesar 8,33%.
2.
Distribusi responden berdasarkan tingkat stress pada
pasien diabetes mellitus tipe II.
Tabel 4.2 Distribusi Responden
Berdasarkan Tingkat Stress pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Bulan Nopember
Tahun 2009
No
|
Tingkat Stress
|
Jumlah
|
Prosentase
|
1
|
Tidak Stress
|
1
|
8.33%
|
2
|
Stress Ringan
|
5
|
41.67%
|
3
|
Sress sedang
|
4
|
33.33%
|
4
|
Stress Berat
|
2
|
16.67%
|
Total
|
12
|
100.00%
|
Berdasarkan
tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa dari 12 responden hampir setengah pasien
diabetes mellitus tipe II mengalami stress ringan yaitu 41,67% atau 5 orang,
dan sebagian kecil pasien diabetes mellitus tipe II tidak mengalami stress
yaitu sebesar 8,33% yaitu 1 orang. Dan seluruh pasien diabetes
mellitus tipe II memilih pernyataan nomor 4 yaitu mengalami penyakit atau tersinggung.
3.
Distribusi responden berdasarkan Kadar Gula Darah Acak
(GDA)
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Gula Darah Acak (GDA) di
Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan
Nopember Tahun 2009
No
|
GDA
|
Jumlah
|
Prosentase
|
1
|
Rendah
|
0
|
0%
|
2
|
Sedang
|
3
|
25%
|
3
|
Tinggi
|
9
|
75%
|
Total
|
12
|
100%
|
Pada tabel
4.3 menunjukkan bahwa dari 12 responden sebagian besar mempunyai gula darah
acak tinggi yaitu sebanyak 75% atau 9 orang dan sebagian kecil GDA sedang yaitu
25% atau 3 orang.
4.
Tabulasi silang berdasarkan hubungan Obesitas dengan
GDA pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan
Bulan November 2009
Tabel 4.4 Tabel silang Obesitas dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien
Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November
2009
GDA
Obesitas
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Total
|
Tidak Obesitas
|
0
|
3
|
1
|
4
|
0%
|
75%
|
25%
|
100%
|
|
Beresiko obesitas
|
0
|
0
|
3
|
3
|
0%
|
0%
|
100%
|
100%
|
|
Obesitas 1
|
0
|
0
|
4
|
4
|
0%
|
0%
|
100%
|
100%
|
|
Obesitas 2
|
0
|
0
|
1
|
1
|
0%
|
0%
|
100%
|
100%
|
|
Total
|
0
|
3
|
9
|
12
|
0%
|
25%
|
75%
|
100%
|
|
rs = 0,620 p
= 0,032
|
Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan data bahwa sebagian
besar responden yang tidak obesitas
adalah dengan GDA sedang yaitu sebesar 3 orang (75%), responden yang beresiko
obesitas seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 3 orang (100%), responden yang
mengalami obesitas 1 seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 4 orang (100%) dan
responden yang mengalami obesitas 2 seluruhnya dengan GDA tinggi yaitu 1 orang
(100%). Hasil analisis korelasi
spearman menunjukkan bahwa ada korelasi nilai
sebesar 0,699 dengan
signifikansi sebesar 0.011 (p < 0,05). Dengan demikian dapat simpulkan
bahwa H1 diterima artinya terdapat hubungan antara obesitas dan
kadar gula darah acak pada pasien diabetes mellitus, semakin tinggi tingkat
obesitas seseorang semakin tinggi kadar gula darah acak orang tersebut.
5.
Tabulasi silang berdasarkan hubungan Stress dengan Kadar
Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas
Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
Tabel 4.5 Tabulasi silang dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien Diabetes
Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan Bulan November 2009
GDA
Stress
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Total
|
Tidak stress
|
0
|
1
|
0
|
1
|
0%
|
100%
|
0%
|
100%
|
|
Stress ringan
|
0
|
2
|
3
|
5
|
0%
|
40%
|
60%
|
100%
|
|
Stress sedang
|
0
|
0
|
4
|
4
|
0%
|
0%
|
100%
|
100%
|
|
Stress berat
|
0
|
0
|
2
|
2
|
0%
|
0%
|
100%
|
100%
|
|
Total
|
0
|
3
|
9
|
12
|
0%
|
25%
|
75%
|
100%
|
|
rs = 0,620 p = 0,032
|
Berdasarkan tabel 4.5 responden yang tidak stress
seluruhnya adalah dengan kadar GDA sedang yaitu 1 (100%), yang mengalami stress ringan sebagian
besar adalah dengan GDA tinggi yaitu 3 (60%), yang mengalami stress sedang
seluruhnya adalah dengan GDA tinggi yaitu 4 (100%) dan responden yang stress
berat seluruhnya adalah dengan GDA tinggi yaitu 2 (100%). Hasil analisis
korelasi spearman menunjukkan ada korelasi nilai
sebesar 0,620 dengan signifikansi sebesar 0.032 (p <
0,05). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa H1 diterima artinya terdapat
hubungan antara stress dengan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus
tipe II, semakin tinggi tingkat stress maka semekin tinggi kadar glukosa orang
tersebut.
4.2
Pembahasan
4.2.1
Obesitas
Berdasarkan
tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II
mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas yaitu sebesar 33,33%. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi obesitas yaitu aktivitas, karena
berdasarkan data karakteristik reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa
33,3% adalah tidak bekerja.
Menurut
Zainun Mutadin (2002) tingkat pengeluaran energi tubuh sangat
peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua
faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum 2) angka metabolisme
basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal
tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua
pertiga dari pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya
mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal,
tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki
peran yang sangat penting.
Dari hasil
penelitian tersebut dapat ditafsirkan bahwa aktivitas memang berpengaruh
terhadap obesitas. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka semakin rendah
resiko terjadi obesitas, dan sebaliknya semakin sedikit tingkat aktivitas
seseorang semakin tinggi resiko
terjadinya obesitas. Meskipun demikian responden yang bekerja juga banyak yang
mengalami obesitas, hal tersebut dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor lainnya,
seperti lingkungan sekitar yang saat ini bergaya kebarat-baratan dengan segala
macam kenikmatan tanpa harus banyak mengeluarkan tenaga, itu juga mempengaruhi
tingkat obesitas seseorang. Faktor ekonomi juga berpengaruh, semakin tinggi
tingkat kemakmuran seseorang semakin mudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan,
maka semakin rendah juga aktivitas yang dilakukan sehingga angka obesitas
meningkat pula.
4.2.2
Stress
Berdasarkan
tabel 4.2 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II
mengalami stress ringan yaitu 5 (41,67%). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang meliputi perkawinan, masalah orang tua, hubungan interpersonal (Antarpribadi), pekerjaan,
lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau cidera dan
faktor keluarga.
Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah masalah perkawinan.
Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini,
misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan,
kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK) dan lain sebagainya (Iyus Yosep,
2007).
Berdasarkan
data karakteristik reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa 33,3% adalah
tidak bekerja. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi tingkat stress. Dalam
hasil penelitian ini data tentang status pekerjaan dibagi secara terpisah-pisah,
sehingga yang nanpak tertinggi adalah yang tidak bekerja, padahal jika jenis
pekerjaan dibagi antara tidak bekerja dengan bekerja, maka sebagian besar adalah
bekerja. Selain itu masih banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas,
sehingga faktor pekerjaan menjadi samar. Ketika seseorang bekerja maka akan
memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya, semakin tinggi tanggung jawab
seseorang maka semakin banyak pula beban yang harus dipikirkannya, sehingga
tidak jarang terjadi stress bila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang
lama. Tetapi bila seseorang tidak bekerja maka banyak juga hal yang dipikirkannya, termasuk
perekonomian keluarga dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut akan menimbulkan keadaan
stress.
Sesuai dengan
karateristik data berdasarkan usia, didapatkan bahwa 41% adalah kelompok usia
30-39. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa hampir setengah dari responden
yang terbanyak adalah kelompok usia 30-39, tetapi jika dilihat menurut proporsi
tingkat stressnya, maka kebanyakan kelompok usia 30-39 mengalami stress ringan
sedangkan stress tingkat sedang dan berat adalah kelompok usia 40-49 dan diatas
60 tahun.
Perkembangan
baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa,
menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase
tersebut di atas, untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan
kecemasan terutama pada mereka yang mengalami menopause dan usia lanjut (Iyus Yosep,
2007). Sedangkan menurut
penelitan terbaru, pada umur empat puluh tahun kinerja
otak kita mulai menurun. Ini berkaitan dengan selubung mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang
penting dari sel saraf otak. Di atas umur 40, tubuh kita mulai kehilangan
kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui selubung itu, sehinga menyebabkan berbagai
gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan (Catshade, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat
diartikan bahwa kematangan mempengaruhi tingkat stress seseorang. Dalam alur
hidup manusia terdapat masa perkembangan mulai dari dalam kandungan hingga
menjadi lansia dan akhirnya meninggal dunia. Dalam tugas perkembangan itu
terdapat masalah yang harus dihadapi oleh masing-masing individu dan yang
terberat adalah pada usia sekitar 40 tahun dan lanjut usia. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya perubahan yang terjadi pada masa menopause sehingga banyak orang
mengeluh, terutama bagi kaum perempuan yang mengeluh tentang keadaan tubuhnya,
selain itu juga usia sekitar 40 tahun terjadi penurunan fungsi berfikir otak.
Pada usia lanjut seseorang sudah menyiapkan dirinya untuk meninggal dunia, jadi
lansia akan lebih giat beribadah untuk bekal dikehidupan selanjutnya, tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa manusia takut akan kematian. Stress
ternyata memberikan dampak tidak baik terhadap tubuh, stress mengaktifkan
system syaraf simpatis yang akan bermuara pada pemecahan glikogen dalam hati,
sehingga glukosa darah akan meningkat.
Dari hasil pengisian kuesioner stress yang diserahkan
kepada 12 responden di dapatkan hasil bahwa seluruh responden mengalami
penyakit atau tersinggung yaitu 100% atau 12 responden.
Sumber stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan
di sini antara lain penyakit, kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan
lain sebagainya. Dalam hal ini penyakit
yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis,
jantung, kanker dan sebagainya (Iyus Yosep, 2007).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit
yang diderita seseorang dapat menjadi sumber stress, hal ini dapat disebabkan
oleh tingkat pemahaman tetang penyakit, sehingga orang yang menderita penyakit
menjadi takut dan akhirnya timbul stress. Penyakit merupakan keadaan yang
mengancam nyawa seseorang dan hal itu telah diketahui oleh semua orang, bahwa
dalam keadaan normal sebelum seseorang meninggal dunia akan sakit terlebih
dahulu kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, kecelakaan dan
lain-lain. Untuk itu penyakit sering menjadi sumber stress yang sangat tinggi,
apalagi orang yang sedang menderita suatu penyakit itu kurang memahami apa yang
dialami dan pengobatannya.
4.2.3 Kadar Gula Darah Acak (GDA)
Pada tabel
4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes mellitus dengan kadar Gula
Darah Acak (GDA) tinggi yaitu sebanyak 9 orang (75%). Dan dari data responden berdasarkan usia hampir setengah dari
pasien diabetes mellitus tipe II adalah berusia 30-39 tahun yaitu 5 orang (41%).
Beberapa
ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering
dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa
otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang
lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin.
Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para ahli
sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).
Berdasarkan
data diatas kelompok usia yang tertinggi adalah usia 30-39 tahun, jadi dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingginya kadar
glukosa darah. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor lain yang
juga mempengaruhinya. Pergeseran gaya hidup yang berkembang ke arah dunia barat telah menimbulkan dampak
yang sangat besar, dalam hal ini termasuk makanan fast food dan penggunaan teknologi modern yang membuat orang jadi
kurang beraktivitas, sedangakan aktivitas dan gaya hidup mempengaruhi keadaan
gula darah seseorang.
4.2.4 Hubungan Obesitas dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II.
Berdasarkan hasil pengujian dengan
uji Rank Spearman Corelation
menunjukkan bahwa antara Obesitas dengan kadar Gula Darah Acak (GDA) pada
pasien Diabbetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan mempunyai hubungan yang signifikan
(bermakna). Selain itu diperkuat dengan korelasi spearman yang
menunjukkan bahwa ada korelasi nilai
sebesar 0,699 dengan
signifikansi sebesar 0.011 (p < 0,05) dengan arah korelasi yang positif.
Artinya semakin
tinggi tingkat obesitas maka semakin tinggi pula Gula Darah Acak (GDA) pada
pasien diabetes mellitus tipe II, sebaliknya semakin rendah tingkat obesitas maka semakin
rendah pula Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Obesitas adalah
salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam pathogenesis
diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang
baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga
glukosa yang ada di dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel
dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah, memang resistensi insulin
berkaitan dengan obesitas (Brunner and Suddarth, 2002).
Berdasarkan
data di atas diketahui bahwa terdapat hubungan obesitas dengan kadar gula darah
acak. semakin tinggi tingkat obesitas maka semaikn tinggi pula resiko terjadi
peningkatan kadar gula darah, sebaliknya semakin rendah tingkat obesitas maka
semakin rendah pula kadar gula darah. Tingginya lemak pada pasien diabetes
mellitus tipe II menimbulkan resistensi terhadap insulin meningkat, sehingga dibutuhkan
lebih banyak lagi insulin untuk memulai proses pembakaran glukosa. Insulin berfungsi
sebagai kunci untuk membuka membran sel agar glukosa dalam darah dapat masuk ke
dalam sel, jika glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel maka metabolism glukosa
tidak terjadi, di lain sisi kadar glukosa darah meningkat yang biasa disebut
sebagai keadaan hiperglikemia.
4.2.5 Hubungan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II.
Berdasarkan hasil pengujian dengan
uji Rank Spearman Corelation
menunjukkan bahwa antara Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien
Diabbetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Karangbinangun Lamongan mempunyai hubungan yang signifikan
(bermakna). Selain itu diperkuat dengan korelasi spearman yang
menunjukkan bahwa ada korelasi nilai
sebesar 0,620 dengan
signifikansi sebesar 0.032 (p < 0,05) dengan arah korelasi yang positif.
Artinya semakin
tinggi tingkat Stress maka semakin tinggi pula Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada
pasien diabetes mellitus tipe II, sebaliknya semakin rendah tingkat Stress maka semakin
rendah pula Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien diabetes mellitus tipe II.
Stress dapat meningkatkan kandungan
glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin
mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses
glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa
ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007). Sistem simpatis
umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight) sistem ini
meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi.
Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas
saluran pencernaan dan sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).
Berdasarkan perhitungan dan data diatas dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara stress dengan kadar gula darah acak
pada pasien diabetes mellitus tipe II. Semakin tinggi tingkat stress seseorang
maka semakin tinggi pula kadar gula darah seseorang, sebaliknya semakin rendah
tingkat stress seseorang maka semakin rendah pula kadar gula dapahnya. Hal
tersebut dikarenakan pada orang stress terjadi pengaktifan system syaraf
simpatis dan menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi dalam tubuh, salah
satunya adalah terjadinya proses glukoneogenesis yaitu pemecahan glukagon
menjadi glukosa ke dalam darah. Sehingga glukosa darah meningkat, pada orang yang
normal hal itu tidak menjadi masalah namun bagi orang yang sudah menderita
penyakit diabetes mellitus tentu akan menimbulkan dampak yang kurang diinginkan.
BAB 5
PENUTUP
Pada bab ini akan
disajikan kesimpulan dan saran hasil penelitian mengenai ”Hubungan Obesitas Dan
Stress Dengan Kadar Gula Darah Acak Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II di
Puskesmas Karangbinagun Lamongan”.
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Puskesmas Karangbinangun Lamongan pada bulan November 2009. Sampel pada penelitian ini adalah pasien
Diabetes Mellitus tipe II yang berjumlah 12 orang didapatkan hasil sebagai
berikut :
1.
Hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II
mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas.
2.
Hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe II mengalami
stress ringan.
3.
Sebagian besar pasien diabetes mellitus tipe II
memiliki kadar gula darah tinggi dan sebagian kecil kadar gula darah sedang.
4.
Terdapat hubungan antara obesitas
dengan kadar Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II (p = 0,011).
5.
Terdapat hubungan antara stress dengan kadar
Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II (p = 0,032).
5.2
Saran
Dengan melihat hasil kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran dari penulis
yakni sebagai berikut :
5.2.1 Teoritis
1.
Profesi
keperawatan
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah
Acak (GDA) pada pasien Diabetes mellitus tipe II, sehingga hasil penelitian ini
dapat dijadikan sebagai sumbangan terhadap profesi keperawatan.
2.
Pihak
akademik
Dan bagi pihak akademik dapat dijadikan sebagai acuhan dan bahan untuk penelitian
berikutnya.
5.2.2 Praktis
1.
Masyarakat
Saran bagi masyarakat yaitu
diharapkan penderita diabetes mellitus lebih dapat mengontrol perilakunya makan, rajin berolah raga dan menghindari stress.
Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada
umumnya agar dapat mengantisipasi gejala penyakit diabetes mellitus ini lebih
dini.
2.
Pihak
Puskesmas
Sedangkan
untuk pihak puskesmas hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan tentang hubungan obesitas dan stress dengan Kadar Gula Darah
Acak (GDA) pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II yang meliputi skrening awal
masyarakat untuk pemberantasan penyakit tidak menular dan memberikan penyuluhan
kepada masyarakat tentang penyakit Diabetes mellitus dan sering mengadakan
acara agar masyarakat beraktivitas, misalnya jalan sehat, senam masal dan lain
sebagainya.
Abdul Quddus. (2006). Diabetes Mellitus Faktor Keturunan Bisa
Dihindari?. http://www.mediasehat.com.
diakses tanggal 17 Agustus 2009
Arief. (2008). Diabetes Melitus ? Apa sih ?. http://drarief.com/ diakses tanggal 29 Oktober 2009
Artanto. (2002). Kumpulan Artikel Keperawatan Diabetes
Mellitus. dalam situs http://www.artanto.com
dikses tanggal 4 september 2009
Aru W Sudoyo. (2006). Ilmu Penyakit Dalam vol 3. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD
Fakultas Kedokteran Umum Indonesia
Ayu Bulan Febry Kurnia Dewi. (2009). Menu Sehat 30 Hari untuk Mencegah
dan Mengatasi Diabetes Mellitus. http://agromedia.net/
diakses tanggal 30 Oktober 2009
Brruner and Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta : EGC
Catshade. (2009). Umur 40: Saat Otak Anda Mulai
‘Telmi’ dan Menua.
http://persepsi.wordpress.com diakses tanggal 04 Desember 2009
Dahlia Irawati . (2008). Indonesia Peringkat Empat Dunia Pasien
Diabetes. www.kompas.com diakses
tanggal 31 Agustus 2008
Dhania. (2009). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Tentang
Diabetes Mellitus Terhadap Kontrol Diri Pada Pasien Rawat Jalan Penderita
Diabetes Mellitus. http://one.indoskripsi.com
/node /9601 diakses tanggal 2 juni 2009
Edy Suparman. (2003). Diabetes Mellitus Dalam Kehamilan. www.kalbe.co.id
dikses tanggal 20 Agustus 2009
Febrianto. (2008). Melihat Aktivitas Pengidap Diabetes
Mellitus di Lamongan. www.jawapos.com
tanggal 31 Agustus 2008
Faiz Akhadiyat Trisnawati. (2009). Diabetes mellitus keturunan.
http://fazzapples.blogspot.com diakses tanggal 29 Oktober 2009
Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dan Mekanisme
Mekanisme Penyakit. Jakarta:
EGC
Herman. (2009). Penyakit akibat gaya hidup. http://yuwie.com/
diakses tanggal 30 Oktober 2009
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik
Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika
Hikmat
Permana. (2009). Pengelolaan Hipertensi
Pada Diabetes Mellitus Tipe 2
http://pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal 29 Oktober 2009
http://pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal 29 Oktober 2009
Jhon MF Adam. (2000). Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes
Mellitus yang Baru.
http://www.kalbe.co.id/files diakses tanggal 15 Agustus 2009 pukul 21.01
WIB
Nur dan Ayi. 2008. DM Tertinggi, Tren Narkoba Naik. www.JawaPos.go.id
tanggal 22 November 2008
National Safety Council. (2004). Manajemen Stress. Jakarta : EGC
Niven, Neil. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan.
Jakarta : PT Salemba Medika
Olson, James. (2003). Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta : EGC
Potter and Perry. (2005). Buku
Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi
Vol 2. Jakarta : EGC
Robbin. (2007). Buku Ajar Patologi vol 2. Jakarta :
EGC
Rudolph, Abraham M.
(2006). Buku Ajar Pediatri Vol 1. Jakarta
: EGC
Sidartawan Soegondo. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soekidjo Notoatmojo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik;
cet. 13. Jakarta : PT Rineka Cipta
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
WHO1. (2009). Diabetes. http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en diakses tanggal 15
Agustus 2009
WHO2. (2009). Obesity. http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en diakses tanggal 15
Agustus 2009
Wardati. (2006). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit Diabetes Mellitus Tipe II pada pasien di RSU Tidar Magelang.
www.pusatdatajurnaldanskripsi.com
diakses tanggal 2 juli 2009
Wasis. (2008). Pedoman Risert Praktis Untuk Profesi
Perawat. Jakarta : EGC
Iyus Yosep. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Aditama
Zainun Mutadin. (2002). Obesitas dan Faktor Penyebab. http://www.e-psikologi.com diakses tanggal 08 September 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar